Pernahkah dalam sebuah situasi, kita, saya dan pembaca tercinta blog ini, merasa terlalu gengsi untuk memulai sesuatu terlebih dahulu ? Itu bisa apa saja, misal : meminta maaf, menyukai sesuatu atau seseorang, meminta sesuatu, memperbaiki hubungan pertemanan/persahabatan bahkan dalam berumah tangga dengan pasangan masing masing , membuka komunikasi yang beku, dll dll ? Saya mengakuinya, pernah dan berkali kali malahan.
Mengapa sulit dan berat? Setiap situasi memiliki dua sisi, positip negatip, tinggal bagaimana orang melihatnya, sebab ukuran berbeda dari orang keorang. Misal dalam sebuah perselisihan, bisa saja orang mengatakan ini akibat perbuatan si A, tetapi pihak lain mengatakan si B, jadi tergantung.
Yang berselisih, A dan B, sama bersikukuh dialah yang paling benar. Maka mudah diterka, tidak akan ada perdamaian selama keduanya bertahan dan merasa paling benar.
Duduk dan bicara bersama? Mungkin sudah, tetapi tidak menghasilkan apa apa karena masing masing menginginkan permintaan maaf terlebih dahulu dari " lawannya " ! Bila si A merasa paling benar, harapannya si B yang akan mendatanginya minta maaf dan membuka dialog perdamaian, begitu juga dengan harapan si B, persis sama. Dan saat berhadapan, tidak ada yang bersedia memulai, jadi : sia sia meski sudah berhadapan.
Maka " saling tunggu " ini memiliki bermacam kemungkinan. Pertama, tidak ada masalah karena dalam masa " saling tunggu " kedua belah pihak " duduk manis " tetapi masalah mengambang alias tidak selesai.
Kemungkinan kedua, tidak duduk manis, tetapi saling melancarkan serangan alias psy-war dan masalahpun tidak selesai bahkan meruncing.
Dan yang ketiga, terjadi kesepakatan untuk dialog dan mencari jalan keluar bersama.
Semua sepakat bahwa kemungkinan ketigalah yang terbaik dan menjadi pilihan. Namun dalam kenyataannya tidak mudah. Dialog, itu ber arti ada dua pihak yang saling bertemu, berembug, dan berupaya menemukan kata sepakat . Untuk itu diperlukan sebuah niatan atau keinginan yang tulus untuk menge-rem Ego masing masing dan mempersilahkan pihak lain lebih dulu berperan sebelum nanti giliran tiba pada kita.
Memperkecil Aku kita dan memberi kesempatan Aku pihak lain untuk duduk dikursi sutradara dan kita yang menunggu arahannya.
Kapan giliran kita duduk dikursinya? Tergantung. Mungkin perlu duduk disitu mungkin juga tidak. Apabila arahan sang sutradara sudah pas dan sesuai skenario, mengapa kita " ngotot " menggantikannya menjadi sutradara? Namun bila ternyata arahan melenceng jauh dari skenario maka ada saat dimana kita minta diberikan waktu untuk mengembalikan ke skenario awal.
Tidak diperlukan kekerasan atau tekanan, tetapi pengertian dan pemahaman bahwa Aku yang meluber tidaklah menyelesaikan masalah dan bahwa " Aku ku dan Aku mu dapat berbagi " inilah kuncinya.
Siapkah kita memberikan kursi sutradara itu meski hanya beberapa saat?.... ( th )
( Keterangan gambar :diambil dari google )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar