Minggu, 30 November 2008

HP Tahu Tempe: Turunnya Tarif Telekomunikasi Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Indonesia









Di era tahun 96 dan 97-an, saat penulis  masih bergabung dengan sebuah operator seluler pioner di Indonesia yang berlokasi di Surabaya. HP masih menjadi barang langka dan prestisius. Masih segar dalam ingatan bagaimana tim promosi kami memperkenalkan produk produk HP ke pejabat-pejabat pemerintah sekaligus sebagai souvenir plus mengajarkan cara mengoperasikannya karena belum banyak yang mengetahuinya.

Ketika akhirnya setiap karyawan mendapat jatah satu HP operasional, maka dengan gaya ”petentang petenteng” (bahasa Jawa, ”sok”) karyawan-karyawan di lingkungan kami seringkali mendemonstrasikannya di area-area terbuka. 

Padahal ukuran dan berat HP-nya tergolong cukup untuk menggebuk tikus sampai kelenger. Maka bisa diduga bahwa saat itu banyak orang berpikiran kami adalah pasien-pasien RS Jiwa yang lepas gara-gara di tempat umum terlihat berbicara maupun tertawa sendiri.

Sesudahnya mulai muncul mode-mode yang lebih mini dimana HP semakin ringan dan mengecil hingga sebesar dua kali ukuran kotak korek api, meskipun masih kalangan tertentu yang mampu membelinya. 

Teknologi berkembang pesat, dimana akhirnya perusahaan tempat kami bekerja diakuisisi dan  saat ini telah berubah wajah menjadi salah satu operator seluler dengan teknologi yang sudah jauh berbeda dan canggih pastinya.

Di suatu pagi di antara pagi-pagi lainnya yang rutin, saya mendengar ibu saya berbicara di telepon: ” Lo, kan kemarin saya sudah pesan pertelepon to guraminya, kok ngga ada?”. Sepi sejenak, disambung lagi: ”Yaaa sudahlah, bandeng ya ngga apa-apa, tapi jangan lupa lo lombok hijau pesanan saya”, pembicaraan berakhir. Ketika saya bertanya siapa itu tadi, beliau menjawab sambil berlalu ke arah ruang makan: ”Mbok mlijo”, dengan wajah yang masih menyiratkan kekecewaan tentang gurami pesanannya.

Saya jadi teringat sesuatu. Kemarin saya sempat ditraktir seorang teman semangkuk Ketan Duren di jalan Merbabu, Malang. Saya juga diberi nomor HP oleh si penjual Ketan Duren yang gerobaknya di cat unik, biru berbintik-bintik putih mirip biji duren atau durian. Katanya: ”Mungkin ibu mau pesan untuk arisan dan lain-lain silahkan menghubungi nomor ini”. Di gerobaknya tertulis Cak Cosmos, nama komersilnya, dan kaos yang dikenakannya juga khas, ”AREMA SUPORTER”, hitam merah, sangat ”nasionalis arema”.

Juga pengalaman pada saat Ramadhan yang lalu, sebulan penuh saya memutuskan untuk memilih ta’jil yang seragam setiap hari yaitu es degan yang saya ambil setiap pulang kantor di pojok jalan Blitar, Malang. Antrian pembelinya lebih mirip antrian dokter internis atau kandungan terkenal, tetapi berhubung puasa maka hitung-hitung sekalian melatih kesabaran.

Hari ke-3 rupanya si penjual menyadari ”kebodohan” saya mengantri lama dan panjang, dan saya disodori secarik kartu nama sambil berkomentar: ”Bu, silahkan saja mulai besok kalau mau beli es degan lagi, cukup SMS saja siangnya supaya sorenya tinggal ambil”. Saya menerimanya dengan tersipu. Sebenarnya es degan tersebut ya ”biasa saja” tetapi karena cara mereka mengerok daging kelapanya tebal tebal dan es batunya dibuat dari air kelapa maka dalam teori marketing mereka telah berhasil membuat sesuatu yang ”different” dan itulah rahasia suksesnya, plus tentunya menyertakan pemanfaatan teknologi SMS tadi.

Saya juga merupakan pelanggan tetap seorang tukang pijat tradisional dan sudah bertahun tahun menjadi kliennya dimana biasanya saya memanggilnya ke rumah. Dalam tiga tahun terakhir saya merasa dimudahkan oleh hadirnya HP yang dimiliki tukang pijat saya tersebut, sebab saya dengan mudah dapat menjangkaunya meskipun dia sedang berada di luar desanya untuk memijat kliennya yang lain. Dengan usianya yang sudah hampir kepala 6, sebenarnya untuk ukuran desa kecilnya, mbok pijat saya ini tergolong ”canggih” karena tidak alergi dengan teknologi HP.

Di sisi lain, ada hal-hal yang sebaliknya yaitu membuat saya sedih karena teknologi HP nampaknya mulai menggantikan acara silaturahmi yang lazim dilakukan pada saat lebaran. Ketidakhadiran seseorang di saat lebaran, sudah sangat umum digantikan oleh SMS untuk berminal aidin wal faidzin. Kalau pembicaraan per telepon mungkin dapat sedikit mengobati rasa kangen karena suara dapat mewakili yang empunya suara. Tetapi dengan semakin ”efisiennya” cara berpikir masyarakat kita, SMS dianggap sudah cukup menggantikan acara silaturahmi lebaran yang sangat khas ini.

Cak Cosmos, Mbok Mlijo, si penjual Ketan Duren, maupun mbok Mi langganan tukang pijat saya, hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak masyarakat ”menengah kebawah” yang merasakan manfaat teknologi HP sebagai alat penunjang bisnis mereka. 

Sesuatu yang sekian waktu yang lalu tidak terbayangkan akan menjadi bagian dari aktivitas mereka dan bahkan telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan.

Tetapi benarkah teknologi hanya menawarkan kemudahan? Di jaman saya remaja yang hanya ada radio dan lama sesudahnya disusul oleh TV hitam putih, sulit membayangkan bahwa saat ini para remaja kita sudah sangat ”sophisticated” dalam mengakrabi teknologi dan menjuluki generasi saya sebagai generasi yang gaptek, gagap teknologi. 

Anak-anak saya bahkan merasa alergi kalau harus mengajari saya bagaimana mengakses internet misalnya, tetapi dengan ketelatenan dan kesabaran akhirnya sayapun ”berjuang” mengejar ketertinggalan dan bahkan saat ini sudah mencoba-coba menjadi seorang blogger.

Maka, bentuk keprihatinan yang lain adalah munculnya bermacam informasi dan gambar yang ”seram” di layar monitor HP, semisal perkelahian gang remaja putri, adegan-adegan seronok dua jenis anak manusia, dan lain lain yang terkadang begitu saja muncul tanpa diminta. Lha bagaimana kalau semisal pemegang HP-nya anak-anak yang masih dibawah umur dan bukan orang-orang yang sudah sangat berumur seperti saya?

Pergeseran nilai tengah berlangsung. Secara ekonomis tidak diragukan bahwa teknologi HP dan internet melalui HP sangat mendukung pertumbuhan bisnis baik perorangan maupun kelembagaan. Tetapi dampak nilai-nilai sosialnya pun sangat besar. Hampir tidak ada sensor yang mampu menyaring informasi yang masuk ke para user HP maupun internet, bebas lepas dan ”liar”. Anak-anak dibawah umur bisa saja setiap saat mengakses situs-situs orang dewasa baik melalui layar monitor komputer maupun HP-nya, siapa yang mampu mencegahnya?

Kalau sudah begini, siapa yang harus dipersalahkan? Bagaimana cara mengawasi 200 juta penduduk agar mereka tidak mengakses situs-situs porno atau setidaknya mencegah anak-anak dibawah umur untuk tidak mengaksesnya? Suatu gerakan yang melibatkan peran setiap warga negaranya adalah jawabannya. Sebab kalau hanya sekelompok kecil saja yang bergerak melalui slogan-slogan, demo-demo, maupun kampanye-kampanye anti pornografi, tidak akan mengubah apa-apa.

Gerakan ini dapat dimulai dari sekolah-sekolah mulai TK sampai universitas. Pemahaman arti pentingnya ”menyaring informasi” sudah tertanam sejak dini sehingga fungsi HP maupun komputer diletakkan sesuai porsinya dan bukan untuk ”melestarikan pornografi ” itu sendiri.

Guru atau dosen pun tidak cukup, para orang tua juga harus dilibatkan yaitu melalui semacam ”gerakan moral” yang disertai sanksi apabila kedapatan anak-anak mereka yang masih dibawah umur sampai usia remaja terkena razia tindakan yang mengarah kepada pornoaksi dan pornografi. 

Bila terjadi hal seperti ini maka yang pertama harus bertanggung jawab adalah para orang tuanya yang mungkin lalai dalam pengawasan terhadap putra putrinya sehingga mereka terseret ke dalam pergaulan yang salah. Termasuk misalnya memfasilitasi anak-anaknya dengan HP canggih namun tanpa membekalinya dengan pemahaman akan pentingnya arti sebuah penyaringan informasi untuk keselamatan masa depan anak-anak itu sendiri.

Sebuah revolusi memang tengah berlangsung. Revolusi nilai-nilai. Sekian waktu lagi sangat mungkin kita tidak lagi memerlukan meja-meja kerja di kantor seperti saat ini, sebab semuanya sudah bisa dilakukan dari rumah. Sekolah-sekolah dan universitas juga akan kosong melompong, tidak ada lagi dana untuk pembangunan gedung dan semacamnya karena memang tidak diperlukan gedung secara fisik.

Jarak dan waktu telah memendek. Saat inipun sudah sangat biasa dilakukan pertemuan jarak jauh, sehingga untuk apa harus bersusah payah dan bermacet ria di perjalanan menuju kantor atau gedung seminar?

Dimulai dengan era HP ”penggebuk tikus” hingga HP ”dunia dalam genggaman”, rasanya hanya selangkah lagi kita sekalian akan berada pada sebuah era yang mirip di film-film fiksi selama ini. Tak lama lagi kita akan melihat mbok-mbok mlijo, tukang pijat tradisional, ataupun para pemulung sibuk berinternet ria untuk menjalankan bisnisnya, yaitu ketika internet nanti menjadi gratis dan bisa diakses di tempat paling terpencil sekalipun.

Di Malang bahkan beberapa waktu yang lalu sudah memulai gerakan pelatihan internet bagi para PKL yang bertujuan agar nantinya mereka yang terhimpun di sana mampu memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung bisnis mereka dengan membuat web sendiri yang akan memperkenalkan produk-produknya di tataran internasional.

Harga sebuah HP dan persaingan tarif pulsa yang semakin kompetitif antar operator telah semakin mempercepat kenyataan bahwa HP bukan lagi monopoli kalangan menengah keatas. Operator saat ini lebih memberikan perhatiannya kepada menengah kebawah yang jumlahnya jauh lebih besar dan merupakan pangsa pasar yang sangat potensial.

Bak pedang bermata dua, kemajuan teknologi tidak saja telah mampu mendobrak nilai-nilai kehidupan sosial dan ekonomi suatu masyarakat menuju kepada sebuah tatanan masyarakat modern yang lebih kompetitif dan global tetapi sekaligus juga memberikan ancaman bagi nilai-nilai luhur sebuah bangsa apabila bangsa tersebut tidak mampu menahan arus informasi yang meluluh lantakkan fondasi moral bangsa yang bersangkutan.

Di mana posisi Indonesia saat ini? Apakah Anda dan saya sudah merasa berkontribusi untuk mencegahnya dengan cara yang paling sederhana sekalipun yaitu memeriksa HP anak-anak kita yang masi dibawah umur misalnya? Atau Anda memiliki ide-ide cemerlang yang dapat dibagi kepada kita semua terutama kalangan operator seluler? 
( TH )

Keterangan foto :

Cak Cosmos, penjual Ketan Duren di jl. Merbabu, Malang, yang saya jepret sesaat sebelum saya mengirimkan artikel lomba blog ke panitia Lomba Blog XL 2008/2009.

Sabtu, 29 November 2008

Malang, Malang






Sebagai Arema asli, ada keinginan untuk bisa lebih meng-go-internasional-kan Malang. Begini, sewaktu jalan-jalan di Kajoetangan, Malang (sekarang berubah menjadi Basuki Rahmat), sudah banyak merk-merk impor di sana, semisal McDonald. 

Maka saya bermimpi bahwa suatu saat seluruh dunia mengenal Rujak Cingur, Bakso Bakar, Krepek Bayem, Jenang Apel dan lain-lain dari Malang. Itu baru Malang, lha kalau dari 33 provinsi ini bersinergi mulai industri makanan, minuman, dan pernak perniknya, barangkali kita tidak perlu lagi memikirkan naik turunnya harga minyak dunia. 

Tempe yang di jaman lampau menduduki tingkatan kelas kambing dalam daftar belanja ibu-ibu "tajir", dalam kurun waktu terakhir menjadi rebutan banyak negara untuk memperoleh pengakuan sebagai penemu tempe. 

Mungkin kalau saudara-saudara kita dari kampung Sanan di Malang bersatu padu berdemo di kedutaan-kedutaan asing di Jakarta yang negaranya mengklaim hak paten tempe, bisa bisa pihak perwakilan asing kewalahan. Tapi sebenarnya salah siapa? 

Tahu, tempe, batik, reog, dan banyak lagi lainnya adalah sebagian kecil dari " ketelodoran" bangsa kita sendiri untuk tidak mengawal kekayaan budaya bangsanya hingga ke tingkat yang layak serta mendapat pengakuan internasional. 

Bangsa Indonesia sungguh sebuah bangsa yang sangat pemurah hati sekaligus pemaaf. Tapi sampai kapan kita akan terus menerus kecolongan dan bermurah hati seperti ini? 

Maka kalau satu saat nanti tiba tiba ada orang asing menuntut saudara-saudara kita para produsen tempe di kampung Sanan dan kampung-kampung lainnya untuk membayar "royalti tempe", hendaknya kita tidak terlampau kaget. 

Tempe adalah makanan yang membesarkan saya dan generasi-generasi sebelum saya. Tetapi kebanggaan sebagai "bangsa tempe" yang ternyata sangat kaya gizi, agaknya perlu dilestarikan. 

Di saat makanan-makanan yang dikenal dengan istilah junk food merajai tanah air, saya tetap saja celingukan mencari tempe di meja makan yang terkadang tidak muncul karena ternyata mbok mlijo kehabisan tempe. 

Mungkin suatu saat ada peraih nobel dari Indonesia yang berhasil mengangkat tempe sebagai temuan ilmiah yang luar biasa, saya sangat memimpikan hal itu. 

Dan blog ini akhirnya saya beri nama krepektempe  juga bukan tanpa alasan. Malang identik dengan bermacam ikon maminnya termasuk tempe, dan kripik atau krepek tempe merupakan salah satu ciri khasnya meski gara gara nama blog ini saya sering mendapat pertanyaan : " Jual krepek tempe? Bisa melayani kiriman ?" .... lha ini kan malah blessing in disguise  hehe ...

Lalu background foto yang saya jepret ditahun 2009 yaitu the Sleeping Beauty alias Gunung Kawi, juga merupakan salah satu ikon Malang. Dan judul " uklam uklam ndik Ngalam " juga ungkapan sederhana dari bahasa khas Malang yang dibolak balik. 

Semoga blog sederhana ini akan mampu menjadi jembatan antara kita, baik di wilayah sekitar Malang, Indonesia bahkan luar tanah air atau ..planet??
Selamat berselancar di blog saya dan kalau ingin meninggalkan jejak berupa komentar atau kritikan, blog ini terbuka lebar dengan sepenuh kehangatan hati : silahkan !

Salam krepektempe,
th   

keterangan foto :
krepektempe, diambil dari " blog'e putra Pantura, peb. 2010 "