Caleg, Calon ( penghuni )
Lembaga Gangguan ( Kejiwaan )
Hari ini, 10 Desember 2013, di Harian Surya Jawa Timur, ada artikel tentang data para caleg yang pada Pemilu 2009 ternyata memunculkan 7.376 OGB/Orang Gila Baru. Maka pada Pemilu 2014, dikhawatirkan angka diatas akan meningkat jika ongkos Pemilu dan politik uang masih menjadi tradisi.
Saya mencoba mencari beberapa penyebab yang mungkin saja sudah dan belum disebutkan diartikel yang sama yaitu :
( ini adalah penyebab yang disebutkan di artikel diatas )
01. keluarga dan ekonomi berantakan gara gara ambisi caleg dari suami/istri.
02. perceraian.
03. terlilit hutang untuk biaya kampanye dll.
04. gagal sebagai caleg.
Dan saya ingin menambahkan sedikit dari yang diatas yaitu:
adanya sikap Tidak Realistis dan Ketidak Seimbangan Mental.
Ketika ditanah air masih marak politik uang, dan seseorang memaksakan diri ikut arus meskipun ia tidak berkemampuan secara materiil, maka sebenarnya ia telah masuk ke area " dreamland " yang berpotensi gangguan kejiwaan, terlebih bila akhirnya gagal.
Atau bisa saja seseorang mampu secara materiil dan pengerahan massa pendukungnya juga tak masalah namun berakhir kecewa karena ternyata banyak " pendukung palsu " alias tidak mencoblosnya di HH dan semata hanya tertarik pada amplop nya.
Masyarakat telah makin cerdas untuk memilih yang benar benar capable, sehingga uang saja tidaklah cukup untuk menggerakkan alat coblos.
Beberapa kejadian mulai gangguan mental hingga bunuh diri dan juga ada yang merampok untuk bekal maju caleg, semuanya ini terjadi karena adanya ketidak seimbangan secara mental, sehingga menghadapi tekanan maupun kegagalan seseorang cenderung mengambil jalan keluar secara pintas, contoh : merampok, bunuh diri, dll.
Lalu apa sebenarnya yang menarik menjadi Caleg atau nantinya Wakil Rakyat, padahal tidak ringan tugasnya? Apakah hanya sekedar absensi, duduk dan tidur sepanjang rapat, menunggu perjalanan dinas yang menarik secara materiil dan moril
( anggap saja pesiar gratis?) ?
Benarkah mereka sanggup memperjuangkan aspirasi rakyat dan bukan memperjuangkan kepentingan pribadi seperti mobdin baru, bonus, dll ? Juga sanggupkah mereka menahan segala " iming iming " yang datang dari berbagai pihak yang ingin memuluskan kepentingannya dengan persetujuan para wakil rakyat ?
" Iming Iming " ini sekaligus diperhitungkan sebagai " Ganti Rugi " ongkos pencaleg annya yang bisa saja berasal dari hutang, penjualan aset, dll.
Bila kursi Wakil Rakyat hanya dipandang sebagai sebuah sumber penghasilan ataupun prestige, bahkan ada yang mungkin melihatnya sebagai " daripada menganggur " maka sebenarnya ini sudah melenceng jauh dari makna " wakil rakyat " .
Dan kedepan, rasanya diperlukan sebuah Redesign dari sistim rekrutmen caleg yang lebih memadai, sehingga caleg tidak hanya mereka yang sudah dipilih partai masing masing , tetapi setelahnya mereka juga masih harus melewati serangkaian seleksi
yang memadai , ketat dan credible serta transparan untuk menghindari KKN.
Lha kalau pen caleg an itu berpotensi gangguan kejiwaan, mengapa makin banyak saja yang tertarik untuk jadi caleg? Dan apakah satu saat pen caleg an akan juga masuk di Job Fair kampus kampus, sebab caleg sudah menjadi salah satu peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan tetap?
Maka disisi lain yang tidak kalah penting sebenarnya adalah kita kita sebagai pemilih para caleg, agar dapat lebih selektif memberikan suara.
Bukan karena amplop an , kekerabatan atau pertetanggaan, tetapi
sebuah kesadaran bahwa suara yang kita berikan akan berpengaruh kepada nasib bangsa apabila ternyata kita memilih caleg yang sama sekali tidak tepat atau layak.
Siapkah kita memilih yang terbaik dan bukan yang terakrab bahkan
yang terbanyak isi amplop nya? ( th )
( gambar dari google )
( gambar dari google )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar