( matur nuwun buat mas Hayit, Puspo 1, Malang )
resah, hanya satu kata ini yang bisa saya " simpulkan " tentang olah imajinasi seorang seniman apapun pilihan ' bahasa ' nya. dan untuk melihat salah satu keresahan yang mereka miliki,
siang kemarin saya meluncur ke Jalan Puspo 1, Malang.
saya tahu pameran sudah tutup atau lewat, tetapi kalau saya masih punya keberuntungan,
saya memang lebih suka berkesendirian menikmatinya.
benar, mas Hayit membagi keberuntungan itu dan saya dibukakan gembok pagarnya,
matur nuwun ....
bahkan keberuntungan masih ditambah dengan hadirnya dua seniman lainnya di galeri mungil siang kemarin, maka kami ber 4 tanpa rencana sempat terlibat dalam obrolan kecil
tentang karya karya Didik Sudarwanto maupun mereka sendiri.
siang kemarin saya meluncur ke Jalan Puspo 1, Malang.
saya tahu pameran sudah tutup atau lewat, tetapi kalau saya masih punya keberuntungan,
saya memang lebih suka berkesendirian menikmatinya.
benar, mas Hayit membagi keberuntungan itu dan saya dibukakan gembok pagarnya,
matur nuwun ....
bahkan keberuntungan masih ditambah dengan hadirnya dua seniman lainnya di galeri mungil siang kemarin, maka kami ber 4 tanpa rencana sempat terlibat dalam obrolan kecil
tentang karya karya Didik Sudarwanto maupun mereka sendiri.
demikian kehidupan sering berjalan tanpa skenario, bahkan sering lebih bermakna daripada yang sudah ditulis berupa rencana dan skrip!
dalam brosur pamerannya, Didik Sudarwanto menggelar pameran ini selama 22 - 24 Desember 2013, di Jalan Puspo 1, Malang . lokasi yang bertajuk Minimaniez Art Space ini memang
bukan sebuah galeri yang luas dan mampu menampung banyak karya.
namun melihat agendanya, rasanya kota Malang harus memasukkannya kedalam
Kalender Budaya Tahunan, sebab seperti kata salah satu dari ketiganya bahwa untuk 2014 galeri ini sudah " fully booked " ( bukan hanya hotel bintang 5 saja lho yang sudah dipesan penuh ! )
dan 2014 sudah akan diawali dengan pameran lain nanti pada 03 Januari.
Didik lahir di Mojokerto, 6 Desember 1985, dan sejak 2004 telah menggelar berbelas pameran diberbagai kota. saya yang awam soal aliran aliran didunia persilatan seni lukis,
konon menurut salah 1 seniman kemarin, karya karya yang dipamerkan kali ini beraliran
" NAIV " .
maka dalam imajinasi saya yang dangkal soal soal beginian, saya mencoba memahami bahwa coretan coretannya memang lebih mirip gambar anak anak TK/SD yang " sekenanya" karena sungguh bahwa " mahluk mahluk ciptaannya diatas kanvas " itu
sulit dicari dialam nyata ( kecuali mungkin dialam ghaib yang wallahualam .... ) .
konon menurut salah 1 seniman kemarin, karya karya yang dipamerkan kali ini beraliran
" NAIV " .
sulit dicari dialam nyata ( kecuali mungkin dialam ghaib yang wallahualam .... ) .
namun justru karena " tidak nyata " inilah maka pesan pesan yang ingin disampaikan seorang Didik menjadi lebih mudah tertangkap .
ada " monster berdasi ", ada malaikat bersayap namun berwajah setan, ada tv kepala atau kepala tv ( terserah saja .. ! ) dll dll yang kesemuanya tidak bisa menyembunyikan sebuah Kemurungan !
dengan profil kepala kepala monster yang hampir semuanya bertanduk,
maka tanduk ini memang sangat bisa berkonotasi sebagai
" mahluk jahat dengan nafsu nafsu keduniawian yang juga jahat " .... klop sudah !
ada " monster berdasi ", ada malaikat bersayap namun berwajah setan, ada tv kepala atau kepala tv ( terserah saja .. ! ) dll dll yang kesemuanya tidak bisa menyembunyikan sebuah Kemurungan !
dengan profil kepala kepala monster yang hampir semuanya bertanduk,
maka tanduk ini memang sangat bisa berkonotasi sebagai
" mahluk jahat dengan nafsu nafsu keduniawian yang juga jahat " .... klop sudah !
siapa yang dimaksudnya dengan monster? maka ( sekali lagi ) menurut ke tiga seniman yang mengobrol dengan saya, konon kali ini Didik ingin menggambarkan
" Kritikan Bagi Yang Biasanya Mengkritik "
( ini saya kutip semirip mungkin dengan kalimat seniman2 kemarin meski saya tahu tidak akan pernah mirip sebab tidak saya rekam, maka maaf bila ternyata jauh dari kemiripan ) :
" biasanya yang digambarkan itu kan kritikan pada penguasa atau tokoh tertentu yang melanggar rasa keadilan. tapi kali ini kritikan justru ditujukan pada si pengkritik itu sendiri.
sebab dalam kenyataannya seringkali ketika si tukang kritik mendapat peluang yang sama dengan mereka yang pernah dikritiknya, ternyata kelakuannya bahkan lebih bobrok dari orang yang pernah dikritiknya ! "
saya mantuk mantuk 1000 % setuju, meski diam diam saya mendadak ketakutan kalau kalau tiba tiba dan mak jleg saya ketiban peluang peluang yang seperti dimiliki oleh yang pernah saya kritik, semoga saya dikuatkan Lahir dan Batin .. !!
" Kritikan Bagi Yang Biasanya Mengkritik "
( ini saya kutip semirip mungkin dengan kalimat seniman2 kemarin meski saya tahu tidak akan pernah mirip sebab tidak saya rekam, maka maaf bila ternyata jauh dari kemiripan ) :
" biasanya yang digambarkan itu kan kritikan pada penguasa atau tokoh tertentu yang melanggar rasa keadilan. tapi kali ini kritikan justru ditujukan pada si pengkritik itu sendiri.
sebab dalam kenyataannya seringkali ketika si tukang kritik mendapat peluang yang sama dengan mereka yang pernah dikritiknya, ternyata kelakuannya bahkan lebih bobrok dari orang yang pernah dikritiknya ! "
saya mantuk mantuk 1000 % setuju, meski diam diam saya mendadak ketakutan kalau kalau tiba tiba dan mak jleg saya ketiban peluang peluang yang seperti dimiliki oleh yang pernah saya kritik, semoga saya dikuatkan Lahir dan Batin .. !!
maka, saat menelusuri karya karya Didik siang kemarin, saya tidak mau berpura pura mengerti biar dikira paham seni, tetapi saya banyak bertanya karena memang banyak yang saya kurang pahami, saya tidak malu, daripada pulang masih " plonga plongo " ...
dan meski tidak sempat bertemu Didik, saya sangat syukuri bahwa pertemuan dengan ke 3 seniman itu menambah lebar sedikit horison saya tentang " ke naiv an " seorang Didik.
mungkin gambaran itu sangat banyak bertebaran dilingkungan yang manapun, dan mencegahnya tidaklah dengan mengirim mereka mereka, para monster monster itu ke lapangan tembak agar dengan satu kali doorrrr perkara akan selesai!
ketika " sel sel kanker " sudah menyebar hingga lapis paling bawah, maka perisai perisainya tak lain adalah masing masing kita, anda, saya dll ... dan bukan siapa siapa!
dan daripada sibuk mencari dan menuding tetangga yang koruptor, perampok, pemadat, serta pe .. pe .. pe .. lainnya, tidakkah lebih baik bicara kepada anak sendiri :
" nak, meski hidup itu sebuah pilihan, tolong pilihlah yang teraman,
aman dari polisi, kpk, jeruji besi dan sejenisnya, ingat bahwa kamu saya lahirkan tidak untuk
mungkin gambaran itu sangat banyak bertebaran dilingkungan yang manapun, dan mencegahnya tidaklah dengan mengirim mereka mereka, para monster monster itu ke lapangan tembak agar dengan satu kali doorrrr perkara akan selesai!
ketika " sel sel kanker " sudah menyebar hingga lapis paling bawah, maka perisai perisainya tak lain adalah masing masing kita, anda, saya dll ... dan bukan siapa siapa!
dan daripada sibuk mencari dan menuding tetangga yang koruptor, perampok, pemadat, serta pe .. pe .. pe .. lainnya, tidakkah lebih baik bicara kepada anak sendiri :
" nak, meski hidup itu sebuah pilihan, tolong pilihlah yang teraman,
aman dari polisi, kpk, jeruji besi dan sejenisnya, ingat bahwa kamu saya lahirkan tidak untuk
mendapat gelar XN/ eks napi, tetapi cukup sederhana saja :
untuk memelihara martabat diri !"
( ndak usah martabat keluarga, sebab kalau masing masing " diri " sudah bener,
maka keluarga ostosmastis juga bener )
untuk memelihara martabat diri !"
( ndak usah martabat keluarga, sebab kalau masing masing " diri " sudah bener,
maka keluarga ostosmastis juga bener )
tiba tiba dalam perjalanan pulang, ingatan saya melayang ke seorang pelukis Yogyakarta,
mas Edi Hara ( menulis namanya yang betul tidak begitu, maaf mas .. saya kuatir salah )
yang sampai saat ini masih di Swiss sesuai beritanya di inbox pada saya sekian minggu lewat.
aliran beliau juga seperti itu, Naiv , Surealis atau entah apa saya sungguh tidak paham.
saya pernah ketiban sampur mengurusi penyelenggaraan pameran beliau di sebuah hotel ***** di Yogya. meski berbeda jaman dan berbeda pesan, namun saya melihat ada kesamaan disana, mengkritik yang suka mengkritik.
sungguh sebuah karya adalah penanda jaman, dan saya yang hanya mampu menikmati tanpa mampu berkarya adalah tak lebih cuma si
" penangkap , penerus serta pemelihara pesan " itu.
" penangkap , penerus serta pemelihara pesan " itu.
maka, saya sangat setuju dengan kemurungan Didik, karena itu juga kemurungan kita semua, meski kita juga tahu bahwa Murung Saja Tidaklah Cukup, siapa tahu pada pameran berikutnya Didik akan mengusung pesan " Anti Murung " ? ( th )
( keterangan gambar, all taken by : th )
01. salah satu kemurungan itu
02. kemurungan lain
03. tiga seniman
04. Didik dalam bingkai bingkai kecil
01. salah satu kemurungan itu
02. kemurungan lain
03. tiga seniman
04. Didik dalam bingkai bingkai kecil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar