saat penonton masih menunggu sebuah surprise atau ending yang " greng " tiba tiba saja gedung bioskop sudah kembali menyala lampunya dan deretan nama nama pendukung bermunculan dilayar, mengiringi kepergian dua aktor utamanya yang konon akan menjelajah Eropa untuk mengenal budaya budaya dunia sebagaimana
mimpi mimpi masa kecil mereka di Bilitong ....
film selesai, penonton " mlonga mlongo " dan keluar ruangan dengan rasa penasaran
" kok gini ya endingnya? ", ada gerutu gerutu ....
terus terang, sejak Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan sekarang ini Edensor atau Laskar Pelangi 2, saya bahkan sama sekali belum pernah membaca novel novelnya, jadi langsung ke filmnya sehingga sulit membandingkan novel dan filmya.
tapi saat melihat LP yang ke 1 dulu, saya bahkan sudah kehilangan minat membaca novelnya sebab buat saya filmya sudah bagus! ditangan sutradara Riri Reza saat itu LP1 dan SP memang mendapat banyak pujian.
tapi saat melihat LP yang ke 1 dulu, saya bahkan sudah kehilangan minat membaca novelnya sebab buat saya filmya sudah bagus! ditangan sutradara Riri Reza saat itu LP1 dan SP memang mendapat banyak pujian.
lalu Edensor yang disebut sekuel 2 dari LP ini, diganti sutradaranya dengan Benny Setiawan yang tentunya juga sudah melewati proses pertimbangan tertentu.
musik yang dulunya dipegang Nidji diganti oleh Coboy Junior.
nama nama pendukung Edensor inipun masih nama nama besar seperti :
Lukman Sardi, Mathias Muchus, Abimana Aryasatya yang memerankan Arai dewasa sebagai pengganti Ariel Noah yang memerankan Arai pada SP.
hampir seluruh alur cerita ini berkutat di Paris, diseling flashback ke Bilitong sesekali. lalu juga diselipi pacaran ala Ikal dan Kathia si cewek Jerman yang serba canggung karena perbedaan budaya namun cukup manis.
selebihnya, ya apa ya, suasana winter sampai autumn di Paris dan kampus Ikal dan Arai, pertemanan dengan teman teman kampus, suka duka sebagai penerima beasiswa yang terbatas dananya, datangnya berita dari Bilitong tentang problema keluarga, dan seputar seputar itu.
kita memang belum terbiasa disini dengan ending ending yang terasa " mengambang " dan membiarkan imajinasi penonton berjalan sendiri dengan bebas bahkan liar.
kita masih suka disuguh ending ending yang jelas, yang happy atau tidak happy, pokoknya jelas !
jadi saat Edensor berakhir mengambang, orangpun seolah dilanda kecewa,
" kok gitu ?" .....
apalagi kedua sahabat ini, Ikal dan Arai, diakhir cerita atau film ini baru saja berdamai setelah beberapa waktu sempat bersimpangan jalan, naaa ... " maunya penonton " mungkin keduanya ini diakhir cerita diperlihatkan lebih konkrit tentang kesuksesan studynya yang harusnya
terus " diapa apakan " supaya hasil studynya itu lebih nampak sebagai
sebagian mimpi yang sudah teraih, entah itu apa, terserah sutradara,
tapi bukan lalu pergi berlibur untuk mengelana ala backpacker atau sejenisnya yang
" seolah mengambang " ...
memang sebuah " terjemahan " novel kelayar lebar tidaklah selalu mudah karena ia harus mampu memvisualisasikan sebuah imajinasi yang tadinya hanya ada dibenak pembaca novel dan harus diwujudkan dalam benak penonton bioskop dengan " mendekati " imajinasi saat orang masih membacanya, tidak mudah.
terlebih seorang Riri Reza memang beda dengan Benny S, yang keduanya pasti memiliki pilihan visualisasi yang juga beda meski dari materi novel yang sama.
maka bila Edensor ini dikomentari sebagai " lebih bagus novel dari filmya " maka sayapun tidak bisa berkomentar karena saya memang belum pernah membaca novelnya.
anehnya, saya juga tiba tiba kehilangan minat untuk mecari novelnya karena
" sudah mengintip " nya di film dan " mungkin " novelnya taklah jauh isinya dari yang saya lihat di film meski bisa saja saya salah ...
kuatirnya, sekuel berikutnya akan terlanjur membentuk opini tentang " kekurang bagusannya " dan akan bernasib sama yakni sepinya penonton ? mari kita lihat saja ....
( th )
( gambar dari google )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar