Senin, 06 Januari 2014





.. " Tenggelamnya Kapal Van der Wijk " , 
sebuah permata jaman ..

membludaknya penonton film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk/ TKVW yang sepenuhnya digarap para sineas  Indonesia ini sudah tentu mendorong rasa penasaran karena novelnya yang terbit ditahun 1938 dengan judul sama adalah sebuah bacaan sastra wajib saat itu.

sayapun berada dalam antrian panjang untuk memperoleh tiketnya dan setelah tas tas diperiksa dipintu masuk dimana semuanya harus bebas mamin karena softdrink dan brondong jagung pihak bioskop bisa tidak laku , sayapun masuk ke studio yang siang itu ternyata sudah padat penonton meskipun TKVW ini sudah menginjak hari ke 10 an ! 

sulit saya melacak kembali ingatan pada lembar lembar novel abadi karya Hamka ini, meskipun saya dimasa remaja sudah melalapnya habis. 
yang jelas saya masih ingat adalah saya menangis membacanya, tapi tidak mampu lagi mengingat dibagian manakah yang terparah menangisnya hehe .. 

bahasa dalam novel tersebut masih sedemikian puitis, mungkin remaja remaja masa kini akan sulit atau kurang menyukainya, jadi saya khawatir film ini akan " berjarak " dengan generasi yang sekarang, semoga tidak ...

adegan demi adegan mulai terpampang, dan terlihat kekayaan budaya dan bahasa ditanah air dengan munculnya dialog dialog dalam bahasa Bugis dan Minang . 
latar belakang alam Minang nan elok, budaya Minang nan rancak tetapi teguhnya tradisi garis ibu tampak mulai memunculkan konflik konflik budaya Bugis dan Minang,
 sebuah potret khas budaya tanah air yang kaya dengan perbedaan meski rentan masalah bila persinggungan budaya tak menemu jalan keluarnya. 

 konflik telah dimulai, dua hati harus menerima kenyataan : dipisahkan secara paksa karena budaya.  sedih, pasti. saat itulah, masing masing berupaya untuk tetap bisa bertemu lewat bermacam cara dan kesempatan. 




namun muncul prahara berbungkus cinta dan harta. ketulusan pemuda Zainuddin kepada Hayati terkalahkan oleh Azis yang " ke londo londo an " akibat pergaulannya dengan para pemuda2 londo plus hartanya yang melimpah, sehingga Hayati terpluntir dalam 
pelukan Azis sebagai suaminya. 

Zainuddin tidak percaya, karena Hayati pernah bersumpah setia akan tetap bersama Zainuddin dalam dukasuka, namun sepucuk surat Hayati telah meremukkan mimpi Zainuddin hingga keping keping sekecil debu. 

pedang itu merobek jantung Zainuddin karena tajamnya melebihi rambut belah 7 yakni ada barisan kalimat disurat Hayati begini :
" .... Hayati miskin, uda Zainuddin juga melarat, ini tidaklah cukup untuk membangun sebuah rumah tangga, maka lupakanlah Hayati .... dst ..... "

wahai, Zainuddin limbung dan terkapar dalam sakit hingga lelakipun disapanya penuh kasih bak menyapa Hayati, sakit, sakit sekali ! 
kerabat sepakat mendatangkan Hayati yang telah bersuamikan Azis, dan diantar Azis, Hayati menyapa Zainuddin dalam tangis, Zainuddin pun mendadak sembuh dan meratap memegang tangan Hayati yang dikiranya masih seperti dulu. 

namun wahai, apa gerangan diujung ujung kukunya ? ada tanda merah merah yang berarti sudah menjadi istri orang, Zainuddin terpekik dan meraung .... 
Hayatipun  ditarik keluar oleh suaminya untuk pergi dan mengancam agar tidak pernah lagi peduli pada pemuda kampung macam Zainuddin.

Azis besar dilingkungan mewah dan berharta namun sekaligus penjudi, hingga berakhir dalam kemelaratan disaat sudah berada di Surabaya. 
pada saat yang sama, Zainuddin telah lama bangkit dari sakit, berkat dorongan semangat sahabatnya Muluk yang setia, dan Surabaya menjadi  tambang emas dan pijakan suksesnya sebagai penulis novel dan drama. 

berbalik nasib dengan Azis, Zainuddin melambung ke semesta.  ketiganya bertemu kembali dalam sebuah putaran takdir yang sedih, Azis bunuh diri ditikam rasa bersalah dan malu pada Zainuddin, Hayati tertitip pada Zainuddin seolah sebagai pembalas budi.

 namun Zainuddin masih diliput dendam amarah, tertolaklah Hayati dan dipaksakan untuk pulang ke tanah Minang dengan seluruh bekal hidup tertanggung Zainuddin yang tidak mau menerima " barang bekas " seperti istilah yang diucap Zainuddin dalam amarahnya :

" aku adalah yang terusir, aku yang tak bersuku, maka kembalilah ketanah Minang yang beradab, aku akan tanggung seluruh kebutuhan hidupmu, pulanglah kesana, pantang aku menerima barang bekas ... " .

Hayati tak percaya perangai kasar Zainuddin yang tidak lagi menyisakan cintanya. 
Diantar Muluk, Hayati naik ke geladak kapal Van de Wijk dalam balutan duka dan surat nya pada Zainuddin lewat Muluk adalah sebuah kata pamit kepada yang dicintainya, Zainuddin,
 sekaligus adalah orang yang akan segera membuangnya ketanah Minang. 

takdir berbicara, kapal VdW tenggelam dalam perjalanan itu, Hayati pun meski masih terselamatkan namun akhirnya harus meninggalkan Zainuddin selamanya dan  dalam pelukan orang yang paling dicintainya.

 Zainuddin menyesali keputusannya, namun terlambat, Hayati memang tertakdir hanya sampai dipelukannya , tiada akan pernah lebih.

sesak dada melihat adegan adegannya, karena Herjunot Ali sebagai pemeran Zainuddin bermain sedemikian total hingga amarahnyapun membuat saya menggelegak dan merasakan sakit!

 namun disaat lain, rasa kehilangannyapun menulari saya dengan  rasa yang begitu kosong, dan dalam kegelapan lampu bioskop saya berulang kali mencoba menghapus ingus ! lalu ada Pevita Pearce yang charming dan Reza Rahardian yang pas sekali memerankan 
Azis yang arogan namun rapuh,
rasanya telah ikut mengaduk aduk emosi penonton antara kebencian, kecintaan, ketulusan, pengkhianatan, dan kehilangan, silih berganti. 

musik dipercayakan pada Nidji yang mengisi 4 lagu, dimana kerjasamanya dengan sahabat Inggrisnya Jason O Bryan telah melahirkan musik musik di  yang bernuansa 
megah dan kolosal di film ini.

persiapan disertai riset panjang dari para pendukung film ini, mengesankan bahwa garapannya bukanlah asal asalan. sebuah replika kapal bergaya 30 an dipesan dari Belanda sebagai negara pembuat kapal aslinya yang tenggelam, yang namanya memang 
Van der Wijk. 

dan di tangan sutradara Sunil Soraya, novel TKVW ini seolah membangkitkan jamannya, karena tak seorang penonton remajapun yang terdengar memprotes dialog dialog jadul nan elok dalam berpacaran yang terdengar ganjil bak puisi indah.

 penonton remaja ini rela menerima mesin waktu yang membawanya ke era 30 an dimana 
" pacaran " hanya sebatas bertukar kata ( jangan tanya dijaman kini, yang tidak memerlukan kata tetapi bilik bilik tersembunyi untuk mengawali bayi bayi tak berdosa yang dibuang akibat 
tak kuat menanggung malu
 tersebab gaya berpacaran yang ke bablas ! )

 alangkah elok jaman VderW itu !
dan HAMKA memang meninggalkan permatanya yang luar biasa, sebuah nilai yang 
tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan ! 

namun, adakah diantara penonton remaja kita yang tersentuh hatinya oleh gaya pacaran Zainuddin dan Hayati yang tidak terbalut syahwat ? entah. 
bagaimanapun saya ingin bersaran agar film elok ini sempatlah ditonton para remaja kita, 
karena banyak hal yang bisa dipetik disana meski berbalut bahasa dan tradisi serta gaya gaya jadul. janganlah dilihat jamannya, tapi mari kita petik pesan pesan nya nan rancak! 

sebuah karya lain dari anak bangsa yang membanggakan meski tak sespektakuler Titanic dalam penggarapan efek tenggelamnya, namun keberanian memunculkan hikayat hikayat jadul diera modern adalah patut diacungi 4 jempol! 


kuno dan tua bukanlah sebuah dosa, karena siapapun akan mengalaminya, ia menjadi dosa ketika tak mampu mewariskan nilai nilai bagi penerusnya  ...
 selamat menonton ! ( th ) 
( gambar gambar dari google , sumber wikipedia )

01. Reza Rahadian yang ke londo londoan
02.  Poster film TKVW
03. Rumah Zaenuddin setelah sukses
04. Zaenuddin saat membaca surat Hayati
05. Makam salah satu korban VW / 1936





Tidak ada komentar: