Rabu, 27 November 2013





.. " Adu Tinju, Bapak Anak, Bapak Bapak? " ..

mengikuti berita selebriti yang terkini tentang tantangan Al El untuk naik ring tinju kepada pengacara Farhat yang dianggap melecehkan ayah mereka, saya diawalnya menganggap itu cuma sekedar " guyonan " ala selebriti alias menerbitkan sensasi. 
lho ternyata meleset, pagi tadi tantangan bahkan diseriusi dan masing masing " kubu " telah menyiapkan bolo bolonya.  ini serius apa standup comedy? 

saya memang menghindari nge twitt, jadi tidak tahu perkembangan " adu argumen " mereka disitu. tapi dilayar kaca kok wajah wajahnya menurut saya ya cukup serius ya?
 naaa .. sebagai awam dan juga ibu ( meski anak anak saya uda ngga remaja dan sudah lama tidak lagi bersarang dirumah ), keadaan ini cukup memprihatinkan.

saya ndak perlu ambil contoh siapa siapa tapi sebuah pengalaman dari masa kecil anak anak, mungkin bisa di share dengan pembaca yang lain dan terserah selanjutnya pada opini pembaca apakah sikap yang saya ambil saat itu salah/ benar sebab masing masing pastinya punya 
sudut pandang berbeda dan itu adalah sebuah anugerah.
( bayangkan kalau sejagad raya orang selalu punya pemikiran yang sama, dunia bakal menjenuhkan ! )

" begini ceritanya " ( ini mirip pembukaan acara tv horor hehe .. ) :

satu saat pulang dari bermain entah kemana saja pengembaraan anak anak saya saat itu tapi mereka tidak pernah keluar dari komplek perumahan dan berpindah dari rumah satu teman ke yang lain, mereka mengadu telah diancam oleh seorang bapak bapak yang 
kebetulan anaknya sedang bermain dan berselisih dengan anak anak saya ( kapan anak anak tidak berselisih? itu adalah sebuah proses yang diperlukan mereka untuk belajar ber agumen dan menerima / mau mendengarkankan argumen orang lain ). 

" diancam , maksudnya ?" saya bertanya. " gini katanya: awas kalau kamu kamu besok lewat sini tak tinju ! " .... hahaha, saya tertawa, tapi anak anak saya protes kok saya ini di " waduli " malah terbahak bahak. 
" bapak itu cuma guyon kok ... " kata saya, tapi anak anak  dengan serius bersikeras bahwa itu diucapkan dengan wajah sungguh sungguh dan mereka merasa terancam sebab menghadapi orang dewasa ya pasti KO. " lho apa to yang membuat bapak itu marah, kalian mungkin nakal ya pada anaknya ?" ( kebetulan anaknya cowok juga )
" ya biasalah mama, kita main itu kadang ngga sengaja bertubrukan atau jatuh. mungkin ngadunya sama bapaknya dia dipukul atau apa gitu ... "
setelah saya yakin bahwa anak anak memberi informasi cukup jujur, saya mencoba berbicara per telepon dengan bapak ybs yang masih tetangga sendiri. kebetulan beliaunya ada di seberang telepon dan terjadi dialog kira kira seperti ini :

" ass. .... sugeng siang pak, ini saya mamanya X dan Z ... , maaf menganggu sebentar ... "
" oooo ... ya, waaa .. waalaikumsalam  .. surprise ini, apa kabar nya?"
" inggih matur nuwun, ibu sehat sehat pak?"
" o yaa, biasa, sibuk di kampus ... " ( kami tertawa bersama )




" begini bapak , maaf kalau kurang berkenan sebab ini hanya masalah kecil antar anak anak tetapi karena anak anak saya merasa khawatir akan merembet rembet ke orang tua, maka mereka menyampaikannya kepada saya bahwa .... dst dst . 
dan saya malah khawatir bahwa anak anak sayalah yang mungkin melakukan kesalahan sehingga bapak merasa perlu memberikan peringatan pada mereka kemarin , bolehkah saya mendengarnya  langsung dari bapak? "

" oooo ... ituuu, yayaya ...... hahaha ... iya memang saya sempat bicara seperti itu, tapi maksudnya ngga serius kok, biasalah anak anak kan memang suka menganggap serius perkataan orang tua ..ndak kok, ndak ada apa apa .. "

( diakhir pembicaraan beliau meminta maaf kepada saya dan berjanji tidak akan " menakut nakuti " teman teman anaknya lagi dan akan lebih memberi kebebasan kepada anak anak untuk menyelesaikan persoalannya sendiri dengan teman temannya sejauh tidak membahayakan dirinya dan orang lain ). 

sejak itu memang tidak pernah terdengar lagi " ancaman ancaman " serupa dan anak anakpun sudah kembali berkumpul, bermain dan berselisih lagi kadang kadang haha ...

jadi, bila ada Anak dan Orang Tua saling mengancam, saya juga sedih, karena semestinya tidak perlu terjadi. sebuah pelajaran atau edukasi tidak harus melalui sebuah ancaman atau tekanan baik fisik maupun mental kepada anak anak.

 juga disaat si anak memang Layak Menerima Kritikan/Teguran/Hukuman ya biar saja mengalir sewajarnya, agar mereka belajar bahwa dalam kehidupan itu ada Reward dan Punishment yang bersumber dari setiap apa yang mereka lakukan/ tindak kan. 
mereka perlu belajar Bertanggung Jawab.





kesenjangan cara pandang dan pikir seorang remaja dan orang tua itu wajar, sebab keduanya mempunyai rentang jarak waktu, pengalaman hidup, dll yang lebar. 
tidaklah perlu seorang tua menunjukkan powernya secara berlebihan pada remaja, dan yang remajapun tidaklah perlu untuk " menantang " secara fisik pada yang lebih dituakan 
karena bagaimanapun secara fisik keduanya memiliki perbedaan.




pun dalam  menerima " wadulan " seorang anak , sebagai ortu tidaklah layak begitu saja menyetujui apa yang disampaikan si anak. diperlukan sikap bijaksana, agar ortu mampu menilai " wadulan " itu lebih obyektip dan tidak menelannya mentah mentah .




bahkan lebih bagus lagi bila ortu mampu menjadi " juru pendamai " antara anaknya dengan pihak pihak yang bertikai, sehingga anak akan belajar untuk menjadi seorang
problem-solver dan bukan problem-maker.
   
menegakkan harga-diri ataupun mengembalikan keseimbangan ego , tidaklah harus selalu dengan kekerasan secara fisik. kekerasan fisik adalah pilihan terakhir yang itupun hanya untuk pertahanan diri dalam situasi darurat/ sangat mendesak. 


sebuah falsafah Jawa kuno barangkali dapat memberi gambaran tentang Bagaimana Cara Mengatasi Masalah Yang Terbaik yaitu:

  " Ngluruk Tanpo Bolo, 
Menang Tanpo Ngasorake "

 yang artinya kira kira adalah:
" Mendatangi Lawan Seorang Diri, Menang Tanpa Mempermalukan "

ini sangatlah dalam maknanya dimana karakter kesatria yang digambarkan didalamnya adalah merupakan gambaran Pria Sejati. sangatlah bertolak belakang gambaran ini dengan keadaan masa kini dimana orang lebih cenderung bermain kroyokan atau
 mengajak geng nya untuk menghadapi lawan . 

pun dalam  memenangkan persaingan dengan cara membuka aib atau mempermalukan lawannya didepan publik dimana  teknologi saat ini sangat menunjang untuk maksud ini, sudah menjadi barang umum/ biasa.

gambaran Pria Sejati menjadi semakin langka ketika setiap saat kita diberikan suguhan informasi tentang tawuran antar kelompok karena perselisihan antara dua orang menjadi pemicu konflik dua kelompok yang sebenarnya tak perlu terjadi, bahkan dikalangan militer.

saling membuka aib dan mempermalukan telah menjadi tontonan dan bacaan sehari hari , sampai  sampai kita tidak mampu lagi merasakannya sebagai sebuah aib melainkan " informasi yang biasa saja " , info rutin ... 
demikian parahnya gerusan abad informasi yang secara perlahan namun pasti telah mampu merubah kita sekalian menjadi mahluk mahluk " mati rasa " alias tidak lagi peka terhadap
 Rasa Orang Lain.

orang merasa bangga dan unggul bila berhasil membuat malu orang lain secara terbuka dan diruang publik maupun jejaring sosial. 
tidak ada lagi kesatria yang berani datang seorang diri menghadapi lawannya, tetapi dia akan mengerahkan kekuasaan dan pengaruhnya untuk menghimpun kekuatan menghadapi 
lawan lawannya yang bahkan  bila perlu memakai kekuatan uangnya untuk 
menghimpun massa pendukung. konyolnya massa pendukungpun tidak ingin bersusah payah berpikir apakah dukungannya benar/ salah sebab  yang penting adalah duitnya.

demikian itu pergeseran nilai yang terjadi saat ini. Anak melawan Bapak, Bapak pun meladeni tantangan Anak, Bapak dengan Bapak dst dst. 

Wahai dimana sebenarnya Ibu yang semestinya mampu memberikan rasa teduh dan damai kepada seisi rumah, suami dan anak anak agar rumah tidak senantiasa dirundung petaka? 
jaman telah berubah, sebuah keluarga tidak lagi selengkap jaman lampau atau 
memang tidak perlu lengkap? 

lengkap dalam artian bukan saja status penghuninya sebagaimana ayah ibu dan anak, tetapi juga lengkap dalam arti  pemberian kasih sayang antara penghuninya.
anak anak sangatlah rentan menghadapi konflik apalagi perceraian orangtua, maka daripada mereka belajar tinju untuk menghajar lawan mengapa tidak belajar merawat/ memelihara binatang misal : kucing, ikan, dll. dengan begitu yang tumbuh subur adalah rasa menyayangi dan mengasihi. 
mungkin pembaca punya pendapat lain? (th )
( semua gambar diambil dari google )



Tidak ada komentar: