Senin, 07 Oktober 2013




.. " Aku Lebih Benar " ..

sore tadi ada momen menyedihkan. sedih karena  kali ini saya nampaknya akan " gagal " menyatukan sebuah pasangan yang sudah berbelas tahun menikah. 
minggu minggu ini saya " riwa riwi " antara keduanya, berbicara bergantian dengan keduanya. bahkan saya pernah gembira saat bulan lalu mereka sekeluarga dan saya " berhasil " pergi bersama sama, ramai ramai kesebuah cafe dan 
kami mirip sebuah " keluarga bahagia ", saya harap demikian, luar dan dalamnya. 
anak anak mereka juga nampak gembira menikmati makan semeja dengan ayah ibunya yang sekian lama tak saling menyapa.

tapi ternyata semua harapan saya hampir seluruhnya kandas ketika sore tadi keduanya 
( secara terpisah ) saling curhat kepada saya namun tidak terbaca keinginan 
untuk bersatu kembali. 

dialog dibawah ini tidak langsung, tetapi masing masing mengutarakannya secara TERPISAH kepada saya :

@/ suami :  percuma mbak, sudah berulang kali kok, paling 1-2 hari aja akur, setelahnya sama.

# isteri  : waaa, itu cerita lama, bosan, selalu ditanggapi negatif, capek ..

@ : dia juga mempengaruhi anak anak supaya membenci saya sebagai ayahnya

# : aduh, semuanya diputar balikkan, sudahlah, kalau mau pisah ya saya siap kok..

@ : terserah dia kalau mau berpisah silahkan, sudah sulit memang untuk diperbaiki ..
 ( dst dst yang tidak mungkin saya kutip semuanya )

saya merasa sedih, terutama karena anak anak mereka masih remaja.
untuk duduk bersama, berdua ataupun bertiga dengan saya,  masing masing pihak sudah bersikeras dengan satu komentar :
" percuma, mending ngga usah ... "

bahkan upaya saya untuk menyatukan keduanya dalam sebuah ikatan bisnis kecil kecilan agar terjadi komunikasi dan syukur syukur bisa mengembalikan keharmonisan keduanya,
 ternyata juga tidak mudah.

bisnis jalan tetapi tidak ada komunikasi . dan melalui sebuah buku catatan yang memuat data transaksi harian itulah keduanya berkomunikasi.  
lalu, dimanakah  kira kira " kemacetan " pernikahan ini? 

menurut pengamatan saya, umumnya kemampetan sebuah pernikahan terletak di aspek KOMUNIKASI.
konflik yang sering terjadi, membuat keduanya semakin malas berkomunikasi dan kalaupun terjadi komunikasi maka biasanya saling menonjolkan " AKU " nya  masing masing.
bila diperas hingga kepada sarinya, ternyata hanya sederhana yaitu:
 " Aku Adalah Lebih Benar dan Kamu Lebih Bersalah "

tidak ada lagi keinginan untuk saling mendengarkan apalagi introspeksi, pokoknya Aku Benar.
alasan apapun yang dikemukakan lawan bicaranya, baginya tidak penting karena 
semuanya harus bersumber pada AKU nya, diluar itu, EGP.

sebuah pernikahan telah mulai kehilangan makna dan fungsinya disaat kemauan untuk saling berubah, mengoreksi diri dan memulai lembaran baru yang lebih baik, 
semuanya itu telah hilang.

mediator tidak berfungsi lagi sebagai jembatan pemersatu melainkan berfungsi sebagai 
Tempat Untuk Saling Menyerang Patner. 

ketidakberpihakan saya kepada salah satu dari keduanya, juga sia sia karena masing masing mencoba " menggiring saya dipihaknya " . 
ber minggu minggu saya mencoba bertahan untuk keduanya karena " biasanya " saya bisa menemukan solusi pada tiap kasus yang ada.

maka saya coba untuk menelpon rekan yang lebih senior , memintakan pendapat/ sarannya, e .. malah jawabannya membuat sumpeg :
" solusi pernikahan itu tidak selalu identik dengan penyatuan kembali dua orang yang sudah tidak mampu lagi menemukan titik temu. 
maka jangan dipaksakan bila memang semua upaya sudah dicoba dan tidak berhasil. 
 solusinya? ya pisah , itu yang terbaik bagi semuanya terutama anak anak supaya konflik orang tuanya tidak mempengaruhi perkembangan kejiwaan mereka. 
tetapi bahwa sebelum berpisah keduanya sudah mencoba untuk bersatu lagi namun gagal, 
itu patut diberi penghargaan. dan yaaaa itu saja solusinya: berpisah ... "

aduhhh, saya makin pusing.sarannya ternyata tidak seperti yang saya harapkan. 
lalu bagaimana sebaiknya? saya tidak akan pernah menyarankan siapapun untuk berpisah melainkan untuk mencoba kembali bersatu dengan dilandasi keinginan 
menuju kearah yang lebih baik !

lha sekarang apa yang harus saya sarankan pada keduanya bila ternyata mereka menjumpai 
" jalan buntu" ? 
alangkah mudahnya saya mengatakan :
" jadilah pendengar yang baik terlebih dahulu bila engkau ingin orang lain mendengarkanmu " yang ternyata itu tidak mudah karena 
manusia dengan Ego nya lebih mengedepankan " DI " daripada " ME ". 
Di dengarkan, Di hargai, Di hormati, Di layani, Di  ... Di .... Di ....

wahai, sedemikian sulitkan kita mendahului ME dari pada DI ? 
MEndengarkan, MElayani,MEnghormati, MEnghargai dst dst dan setelahnya baru " menuntut " untuk DI ... DI .... DI ....? 

mungkinkah kita akan dihargai orang lain ketika kita juga tidak memberikan penghargaan terlebih dahulu kepada orang lain? ME dan DI inilah yang seringkali menjadi 
ganjalan sebuah komunikasi yang sehat diantara pasangan suami isteri yang karena tergerus waktu keduanya seolah sudah " malas dan bosan bicara " . 

merawat sebuah hubungan hingga akhir hayat adalah impian setiap kita. namun terkadang ada hal hal yang membuat sebuah pernikahan  menjadi tidak berfungsi lagi alias mandeg. 

kejutan kejutan kecil, pujian pujian kecil, perhatian perhatian kecil dll yang nampaknya " kecil kecil " namun mampu memberi pupuk pada sebuah hubungan yang " tidak baru lagi " agar aura kasih sayang masih selalu terpelihara dan tidak berkarat termakan masa.

sungguh tidak sulit namun lebih banyak yang tidak memperhatikannya sampai pada satu saat hubungan itu  " mati rasa " dan bahkan " lumpuh total " karena 
rutinitas telah membunuh rasa itu ..... 
pernahkah kita mengalaminya atau semoga tidak ( ? ) .
( th )
( gambar diambil dari google )





 

Tidak ada komentar: