Minggu, 06 Juni 2010

Mencari Sisa Jejak Sang Raja, 06 Juni 2010


































Ketika I kali tawaran itu datang, saya sempat resah antara ya dan tidak. Ya, karena saya penyuka alam bebas dan traveling. Tidak, karena tawarannya adalah untuk " menjenguk " keberadaan sang raja rimba disebuah kawasan hutan Malang Selatan. Ini bukan Taman Safari yang bernyaman nyaman dalam mobil ber AC sambil melewati binatang binatang jinak sampai buas. 

Bahkan saya di wanti wanti : " Mbak, mending pakai sepatu bot ya dan tepat waktu supaya tidak kehilangan momen mereka sedang berjemur .... " ... Waduh, membayangkannya saja sudah mules, saya tidak menjawab karena saya sedang ber imajinasi kira kira bagaimana kalau tiba tiba saja saya memergokinya dialam bebas ..

Sempat tertunda 3X karena cuaca kurang bersahabat, akhirnya tanggal 06 Juni 2010 kemarin rombongan kecil kami berangkat kearah Malang Selatan, tepatnya desa Sumber Manjing Wetan yang notabene merupakan kampung halaman saya juga. Ternyata ada 2/dua tambahan anggota kami yang hebatnya masih anak anak, yakni Bram 12 tahun dan Sheila 13 tahun, putra/i dari mas Pras inisiator dari tur kami kali ini. Maka diam diam saya harus malu sebab anak anak ini dengan cerianya memasuki kawasan hutan liar he he ... Sebuah edukasi positip untuk memperkenalkan sejak dini anak anak kepada alam bebas !

Rombongan berdoa dan berfoto bersama sebelum memulai berjalan. Ada pak Jui sebagai guide kami, ada pak Bawon yang bertugas memanggul senapan ( Sungguh bukan untuk ber gagah2 tapi konon ber jaga jaga lo....? Meskipun dijelaskan bahwa itu cuma senapan untuk tupai ... ? )
terus ada mas Pras yang mengundang saya untuk tur ini, ada Bram dan  Sheila putra/inya, ada
pak Ed yang membawa perlengkapan, ada pak Totok yang sibuk juga dengan kameranya, dan terakhir saya sendiri. 

Jumlah kami 8 orang sesuai " syarat " yang diminta guide agar jumlahnya genap. Ya nurut saja sebab masalah masalah diluar nalar seperti ini sebaiknya tidak terlalu diributkan karena saya tokh memang awam.

Rombongan berpindah ke dua mobil khusus yang sudah disiapkan menuju kawasan hutan Pletes. Jalan menanjak dan berbatu batu kapur membuat guncangan guncangan yang lumayan keras . Akhirnya dari sebuah titik didesa perbatasan, kami semua mulai berjalan kaki kedalam hutan. Jalanan semakin menyempit dan terjal sampai akhirnya :

" Mohon tidak ada yang guyon guyon ( becanda ) dan sebisanya jangan menginjak ranting ranting ... " , aduh.. hampir sulit lha wong jalanan kita senantiasa dihadang semak belukar. Dua sajam yang dibawa , mulai beraksi membuka jalan bagi rombongan.

Jalanan yang semula setapak tiba tiba menjadi setengah tapak alias makin menyempit, licin dan jangan coba coba lengah karena disebelah kiri kami langsung menganga jurang sedalam ratusan meter.

Rombongan menjadi hening, semua fokus dengan tapak kaki masing masing. Sesekali saling DB ( Dorong Pantat , maaf .. ) karena jalanan yang sungguh diluar perkiraan saya ternyata sangat licin dan terjal. Naik dan terus naik, sampai sampai jantung serasa mau copot sebab selain sempit juga jurang disebelah kiri kami itu seolah mengganggu konsentrasi ..

Tiba tiba kami bersua dengan sekitar 5 wanita " perkasa " pencari kayu bakar, yang konon tiap harinya harus naik turun gunung hanya untuk mendapatkan seribu ( ! ) rupiah untuk seikat kayunya, dan tiap hari setidaknya mereka mampu mengumpulkan 5 ikat kayu. Kembali saya malu, bahwa untuk sebuah tur seperti ini saya banyak mengeluh padahal wanita wanita ini menjadikan rute tur saya ini sebagai lahan mencari nafkahnya .. Ya ALLAH, ampuni hambaMU ini ..
Salah satu dari mereka, mbok Tuma, saya ajak ikut dalam rombongan karena ybs terlihat sangat menguasai peta disini. Dan sebagai " guide tambahan " mbok Tuma ini sangat memotivasi saya sepanjang perjalanan untuk menaklukkan kesulitan2 dialam liar ( bayangkan, mbok Tuma berjalan tanpa alas kaki ! ) . 

Dengan bahasa Maduranya yang khas, mbok Tuma malah menjadi penghibur rombongan dengan ceritanya yang aneh aneh dan lucu meskipun diam diam saya membatin kok jumlah kami menjadi ganjil, apa tidak menyalahi petunjuk si guide tadi he he ...

Ada beberapa lokasi goa yang diperkirakan dihuni si raja rimba yang belakangan ini ditandai penduduk karena beberapa kali mereka turun ke desa memangsa ternak. Yang terdekat dengan kami saat itu langsung kami datangi setelah berjalan hampir 1,5 jam dalam terik matahari dan belukar serta terjalnya jurang. Goa ini relatip agak kecil, kami tidak bisa datang bersamaan tetapi harus satu persatu melihatnya kalau tidak ingin terperosok ke jurang.

Susah payah mengambil sudut pengambilan gambar yang baik, sia sia, sebab posisi tidak memungkinkan, inipun saya sudah bersandar pada ranting2 pohon yang menahan berat tubuh saya .. Ternyata lobang goa sudah ditutup bebatuan yang oleh penduduk dimaksudkan agar si raja rimba tidak bisa masuk lagi, atau ini " balas dendam " penduduk atas kematian ternak ternaknya?

Setelah itu pak Jui kembali memimpin rombongan ke goa yang lain yang ternyata lokasinya lebih diatas lagi. Sisa sisa tenaga dipakai untuk memanjat tebing lebih tinggi dengan lebar jalan setapakyang hanya sekitar 25 cm saja dan mengandalkan tanaman2 kecil sebagai pegangan. Keringat mengucur bukan karena panas matahari, tapi lebih karena nervous he he...

Rombongan sempat berhenti untuk istirahat disebuah tambang batu kapur yang sedang kosong kecuali ada satu pekerjanya yang ditunggui oleh istri dan anaknya yang masih balita serta anjing mereka. Lagi lagi saya mendapat pelajaran berharga betapa kebahagiaan itu tidak semata diukur oleh materi. Keluarga ini contohnya, begitu " ayem tentrem " meski penghasilan sang ayah tidaklah seberapa dibanding kerja kerasnya dan anaknya juga terlihat ceria bermain di alam bebas tanpa rasa kuatir ...Disana kami sempat foto foto sebelum melanjutkan langkah ke goa yang dituju.

Ketika akhirnya kami berjalan lagi dan sudah sekitar 30 menit arah vertical ( ! ) sambil membuka belukar, tiba tiba rombongan mencium bau yang lain ... orang Jawa menyebutnya bau " lengur " 
( antara amis dan bau kecut atau juga kotoran ) . Guide minta kami berhenti disitu dan sendirian dia menerobos belukar kearah goa. Tegang menunggu, akhirnya pak Jui muncul lagi dan mengatakan bahwa kami boleh naik tapi satu satu dan jangan berisik. Perut saya kembali mules, ini lah yang dicari atau ...?

Tak ada yang mencoba bertanya, sebab sudah keburu ingin tahu dan mematuhi pesan agar tidak banyak bicara dulu, iya iya pak Jui ... Dan sekitar 10 menit menerobos belukar serta ranting ranting , pak Jui yang berjalan paling depan memberikan pemandangan spektakuler :
G O A   M A C A N lengkap dengan bekas telapak sang raja rimba ...!! Saya terkesiap dan siap siap mundur .... Dan akhirnya para prialah yang terlebih dulu berjalan kearah mulut goa...

Anak anak dan mbok Tuma tidak diijinkan ikut ke goa, demi keamanan. Lo lha kok malah saya yang dipanggil pak Jui? " Lha mbak kan datang jauh jauh kesini katanya mau motrek ? ... ", aduh iya, malu, sampai lupa tujuan semula saking surprise dan takutnya ... Agak tergesa gesa saya prat pret disitu, padahal mas Pras, pakEd , pak Tok, mas Bawon serta pak Jui tampak santai meski tetap waspada sebab pak Jui meyakinkan kami bahwa tadi sempat terlihat sejenak ekornya ... ! Aduh amit amit batin saya .....

Terjadi perdebatan, ketika mas Pras berkeras ingin mengambil gambar gambar lebih masuk ke goa yang tinggi dan lebarnya 2x ruang kelas sekolah ini. Sebagian besar rombongan mencegah, saya mengingatkan agar tidak masuk sebab sangat jelas bekas tapak kaki sang raja mengarah kedalam goa .. Goa ini memiliki bilik bilik yang cukup unik, sehingga tidak akan pernah ada yang tahu sang raja saat itu berada dibilik yang mana, salah masuk bisa mengundang bencana...

Kami sepakat untuk segera turun demi alasan keamanan, dan dengan kaki lemas karena nervous saya bergegas turun dengan cara mbrosot/ setengah meluncurkan diri supaya lebih cepat. Jujur saya tidak mau tahu apakah didalam goa tadi sang raja masih ada atau sudah raib lewat jalan jalan tikusnya, tapi yang penting saya sudah merasakan " sentuhannya yang begitu dekat " melebihi yang saya harapkan dan itu sudah cukup, saya tidak mau takabur, sungguh saya tidak berkemampuan untuk memergokinya .... ini bukan Taman Safari...!!

Rupanya Tuhan masih ingin menghadiahi rombongan kami dengan bonus kecil. Saya terpekik 
( senang dan senep campur baur ) ketika dalam perjalanan kembali ke hutan perbatasan desa, rombongan menemukan jejak jejak sang raja disebuah tanah datar ditepi jurang yang berjarak sekitar 300 meter dari goa tadi... Tampaknya, Sang Raja sedang " berinspeksi " diwilayahnya .

Saya tidak buang waktu untuk prat pret begitu juga anggota rombongan lainnya. Saya bersyukur kehadapanNYA bahwa saya masih diperkenankan menikmati sisi lain dari private-life sang raja yang suasana dan ketegangannya tidak akan pernah saya temukan dimanapun. Mungkin rombongan ini sedikit mengganggu ketenangannya, tetapi kami tidak bermaksud lebih dari sekedar ingin merasakan atmosphere didekat sang raja ...

Mas Pras yang tampak masih sangat penasaran, akhirnya membuat kesepakatan lain dengan beberapa anggota rombongan untuk " mengundang " kehadiran sang raja melalui kegiatan
api unggun. Lho saya heran, maksudnya bagaimana ? Pak Jui yang lebih memahami kebiasaan2 sang raja menimpali : " Iya, si mbah ( maksudnya harimau ) itu senang dengan bekas api unggun yang ditinggalkan manusia, asalkan jangan pernah mengganggu apalagi mengambil anaknya yang kelihatan mendekat ke bekas api unggun ... ", ooooo.. gitu.... Apakah saya masih mau bergabung dalam program api unggun ini, entahlah ...

Dalam perjalanan pulang kami melewati sungai sungai tadah hujan yang tampak mulai mengering, juga hutan bambu favorit sang raja, dan sudah tentu jurang jurang. Kaki mulai terasa berat, badan pegel pegel, dan haus. Seluruh cadangan air minum nyaris habis dan pelan pelan perutpun mulai nge jazz.

Tiba tiba disebelah kiri kami, disisi tebing, Bram yang merupakan anggota rombongan termuda berteriak : " Ada ularrrr ... ! " .. spontan rombongan berhenti dan bergantian melongok kedalam sebuah lobang di tebing. Ternyata benar ! Tampak sebagian badannya yang berkilau dalam kegelapan lobang. Sesuai komitmen awal untuk tidak mengusik satwa apapun yang ditemui maka kami tinggalkan ular dalam lobang tadi . 

Beberapa lobang lain yang berpotensi dihuni ular didalamnya masih kami temui sesudahnya. Oya catatan kecil dengan Bram yang pemberani ini, beberapa kali kakinya terkena kram diperjalanan, untungnya masih tetap semangat untuk terus mengikuti hingga akhir tur.

Lagi lagi saya sempat bersyukur karena kami diberi kesempatan bertemu satwa satwa liar yang ada. Apalagi disepanjang perjalanan, kami sering melihat dan mendengar berbagai jenis ayam hutan dan burung burung yang langka. Sayangnya rusa yang diperkirakan masih ada tidak sempat ditemui. Rombongan sepakat untuk makan siang di warung " SEMPU " yang juga masih milik salah satu kerabat setelah sebelumnya berpisah dengan mbok Tuma dan keluarganya dibatas desa. Mobil berjalan sekitar 3km kearah warung yang dimaksud.

Pecel lele, gurami goreng, tempe penyet, sambel & lalapan, jangan/ kuah asem, cah kangkung dan es teh serta nasi panas dua bakul. Hm .. rombongan sudah " lupa daratan & lautan " , kami menyerbu hidangan sampai semuanya ludes sekaligus melenyapkan ketegangan... Makan siang diakhiri dengan foto bersama si empunya warung yang masih keponakan sendiri sebelum perjalanan dilanjutkan kerumah mas Pras untuk melihat budidaya bekicot. Bekicot bekicot ini secara berkala dikirim ke Surabaya untuk kripik dan lain lain.

Puas berkeliling serta " meeting kilat " soal rencana rencana proyek di lingkar Selatan Malang, saya akhirnya benar benar menuju arah Malang melewati jurang Pletes ( lagi ) . Lho kok ? Iya, tadi rombongan kami sebenarnya berjalan dibalik dari gunung dan jurang Pletes yang saya lewati dengan mobil ini. Dan sekarang saya jadi sadar bahwa apa yang sering kita saksikan dari balik kaca mobil itu sebenarnya tidak sedahsyat kenyataannya. Saya sungguh bersyukur pernah berkesempatan menikmatinya meski disertai ketegangan ...

( Oya sekedar catatan kecil, dalam rute pulang kearah Malang ini saya menghindari rute stadion Kanjuruhan yang pada sore dan malam yang sama sedang ada laga Pesta Bintang, AREMA vs Para Bintang Bola Indonesia 2010. Sekaligus pada malam yang sama akan ada penyerahan piala kejuaraan ISL 2010 dimana Arema Indonesia keluar sebagai juaranya.
Mestinya Laga Super Bintang ini penyelenggaraannya di GBK Jakarta, tetapi akhirnya dipindahkan ke Malang dan Menpora Malarangeng hadir di Malang untuk menyerahkan piala kepada sang juara ISL 2010 , Arema Indonesia . Ya sudah saya tokh tidak ingin terjebak yang kesekian kali ditengah ribuan supporter, jadi mending cepat pulang sebelum penontonnya bubar.. )

Terima kasih yang sangat khusus untuk : mas Pras, pak Jui, pak Bawon , pakEd dan pak Totok
atas bantuan dan kebaikan2nya, semoga tur tur semacam ini akan semakin mendekatkan serta merendahkan hati kita sekalian kepada sang Maha Pencipta. Dan kepada semua pihak sangatlah dhimbau kesadarannya bahwa alam bebas bukanlah tempat perburuan harta melainkan titipanNYA untuk kita rawat, pelihara dan lestarikan berikut isinya...amin.

O ya, sekaligus bagi yang masih memiliki binatang binatang khususnya satwa langka dirumahnya, mohon disadari bahwa mereka juga memiliki HAK untuk menjadi mahluk hidup yang bebas dan " berdaulat " diwilayahnya masing masing .. Sudahkah kita melakukannya?

Jejak jejak kaki yang ditinggalkan untuk kita oleh si raja rimba bukan tanpa makna. Pesan itu sangatlah jelas : " Jangan Biarkan Kami Punah " .....

( Catatan khusus dari Sumber Manjing Wetan, Malang, 06.06.10 )

( Photos by : TH )

Keterangan foto :

01. Lembah menuju lokasi goa yang ada dibatas desa terdekat.
02. Salah satu lokasi tambang kapur yang dilewati.
03. Foto bersama diawal perjalanan didepan rumah kerabat guide, yang tidak nampak disini
2/dua orang.
04. Memulai perjalanan dengan kondisi masih fit dan nyaman.
05. Pemandangan diperjalanan.
06. Sempat menemui bongkahan batu alam semacam marmer.
07. Jalanan mulai menyempit dengan sungai dan jurang terjal jauh dibawah kaki.
08. Salah satu goa yang dijumpai diperjalanan,
09. Senapan tupai untuk ber jaga jaga ..?
10. Sebuah keluarga yang menggantungkan hidup pada batu batu kapur.
11. Keluarga dengan satu balitanya ditengah kerasnya batu batu kapur kehidupan.
12. Salah satu goa yang ditengarai pernah dihuni macan Jawa tetapi ditutup batu batu oleh
penduduk, dan sulitnya medan untuk memfoto karena dibawah kaki sudah menganga
jurang sehingga tidak memungkinkan mengambil sudut yang lebih baik.
13. Goa tertutup yang sama dengan no. 12 ) diatas.
14. Inilah salah satu goa yang dicari !!
Dimulut goa tampak jelas bekas jejak kaki si kucing besar diatas pasir kapur putih.
15. Masih di goa yang sama dengan no 14 ) , saya berusaha memfoto jejak kaki lebih dekat
tapi karena keterbatasan peralatan dan " nyali " saya menjaga jarak sebab jejak kaki
mengarah KEDALAM goa !!
16. Mulut goa dari sang raja , didalamnya banyak bilik bilik yang ber kelok kelok, saya tidak
akan pernah mengambil resiko karena ini termasuk penghormatan pada alam dan saya
tidak berani takabur.
17. Hutan terbentang disejauh mata memandang.
18. Wanita wanita perkasa yang tiap hari naik turun gunung untuk Rp. 1.000,-/ seribu rupiah
per ikat kayu !!
19. Bram, anggota rombongan termuda yang sering terkena kram kaki tapi sangat bernyali.
20. Bebatuan kapur seperti ini sering dijumpai diperjalanan karena rombongan memang
naik di gunung kapur.
21. Sekitar 300 an meter dari goa yang dihuni sang raja, jejaknya terlihat jelas di tepi jurang
yang kami lewati. Ini dua dari 10 foto yang saya ambil dari jejak yang ada.
22. Masih jejak yang sama dengan nomor 21) diatas. Sang raja sedang inspeksi wilayah .. ?
23. Sheila, anggota rombongan termuda ke II, nampak menyusuri sungai kering di rute kami.
24. Salah satu sungai berbatu batu tajam yang ada di bawah jalan setapak kami, sekitar 50an
meter kebawah.
25. Istirahat sejenak seperti ini rasanya seperti di SPA saking menanjaknya medan.
( coba kalau ada spa ditengah hutan seperti ini ya .. )
26. Satu satunya gubug yang ditemui, hanya cukup untuk dua orang, yang lain " ngglempoh "
disemak semak.
27. Orangtua mbok Tuma yang ditemui dalam perjalanan pulang ke desa terdekat.
( mbok Tuma adalah yang terdepan mengenakan kerudung putih )
28. Beginilah wajah wajah lelah tapi cerah setelah menyikat habis pecel lele dll di warung
" SEMPU " yang kebetulan pemiliknya masih keponakan sendiri jadi porsinya di
lebih lebih kan he he ..
29. Kunjungan terakhir sebelum balik ke Malang adalah ke lokasi budidaya bekicot.

( 06 Juni 2010, TH )


Tidak ada komentar: