Sebelum mengunjungi makamnya, saya lebih dulu ingin menjumpai keluarganya terutama istrinya, mak Yam, dirumah mereka yang terletak di kampung Kedung Ombo. Di Kedung Ombo yang merupakan " kerajaan " mbah Moen inilah seniman topeng ini membangun dunianya.
Rumah sederhana seperti pada umumnya rumah rumah desa ini masih menyisakan aura duka dengan tumpukan kursi diterasnya serta tamu tamu yang masih silih berganti. Disana juga ada sanggar tarinya, Asmoro Bangun, serta panggung tempat pementasannya.
Kesan sederhana mencuat dari sanggar ini, tetapi siapa mengira dibalik kesederhanaannya ternyata nama mbah Moen dan sanggarnya sudah mendunia.
Di panggung inilah tetes tetes keringat mbah Moen dan para seniman topeng Kedung Monggo ditebarkan yang kemudian menjelma menjadi aroma wangi keseluruh penjuru negeri.
Tampak sebuah baliho besar terpampang didekat sanggar, disitu tertulis antara lain agenda pentas dari sanggar mbah Moen , Asmoro Bangun, yang saat ini lebih banyak di kelola oleh kerabatnya yang sudah berbeda generasi.
Dan hanya berjarak sekitar 15/lima belas meter dari rumah mbah Moen, saya melewati salah satu galeri topeng disitu.
Bangunannya mirip gudang, penuh tumpukan kayu kayu bakal topeng. Seorang pengrajin topeng tampak asyik menatah dan mengukir sebuah topeng. Tidak lama kemudian dari rumah sebelahnya muncul mas Handoyo , yang merupakan salah satu pengelola sanggar. Seorang gadis manis yang ternyata seorang penari topeng , ikut mengobrol bersama kami. Rasanya kampung ini memang ditakdirkan untuk dihuni oleh seniman seniman tari dan ukir topeng.
Setelah itu akhirnya, saya bertemu juga dengan keluarga terdekat mbah Moen, mak Yam, Siti Mariam, isteri terakhir mbah Moen yang dinikahinya tahun 1986. Konon merupakan isteri kedua meski mbah Moen sebenarnya beristeri tujuh, maksudnya bila ditotal semuanya berjumlah 7. Keadaanlah pada saat itu yang menjadikan pernikahannya jatuh bangun.
Perjumpaan dengan mak Yam lebih merupakan reuni. Saya sudah berusaha untuk tidak menangis tetapi justru mak Yam yang mendahului. Bagaimanapun bagi saya, rumah dan sanggar mbah Moen bukanlah asing.
Pertemanan kami sempat melahirkan kerjasama dimana kampung dan sanggar mereka secara periodik mendapat kunjungan rombongan tamu tamu asing dari berbagai negara yang saya bawa dalam bentuk rombongan2 kecil disaat pasang purnama atau so called " moonlight-traditional-dance-show " ...
Membawa rombongan bule bule bukan perkara mudah sebab sanggar tari mbah Moen belum
" ber infra struktur " yang memadai untuk sebuah pagelaran yang mengundang tamu tamu asing. Contoh kecil : kamar kecil yang ber WC duduk, snack yang " higinis " dll.
Tidak kehilangan akal. Saat itu saya upayakan semuanya sesuai tuntutan tamu , misal saya sediakan pisang godok, kacang godok dan jagung godok dengan pincuk daun pisang karena semuanya masih dibungkus kulit sehingga pasti higinis.
Nyatanya para tamu memang senang dengan tampilan " jajanan ndheso " yang khas ini. Upaya ini bukan semata " menjual " Kedung Monggo dan mbah Moen, tetapi lebih didasari oleh panggilan hati yang " nelangsa " melihat betapa seniman seniman tanpa pamrih ini harus berjuang hari demi hari untuk tetap bisa eksis.
Menunggu saja hingga orang datang untuk belajar seni topeng tentu bukan solusinya, betapapun para pekerja seni ini memiliki keluarga yang harus tetap dikepulkan asap dapurnya. Maka ketika internet belum dikenal saat itu, upaya upaya memperkenalkan karya karya mbah Moen cs dilakukan secara manual alias door to door.
Tamu kami jemput satu persatu, fungsi dirangkap rangkap, ya driver ya guide ya EO pokok serabutan, yang penting kekayaan seni budaya Malang ini dapat dikenal luas dari mulut ke mulut terutama oleh para tamu mancanegara....!
Sayang sekali saya ketika itu harus meninggalkan Malang untuk bekerja di Surabaya selama beberapa tahun, sehingga kerjasama ini terputus, padahal paket paket pagelaran topeng kala itu sudah mulai banyak diminati. Saya sungguh merasa bersalah. Apalagi kalau saya ingat betapa melimpah ruahnya penonton yang memadati area sanggar pada setiap pasang purnama, rasanya saya adalah orang yang tidak bertanggung jawab terhadap mbah Moen dan teman temannya.
Tetapi saya masih sempat menularkan kiat kiat berpromosi pada tim mbah Moen antara lain melalui pendistribusian brosur brosur sanggar mbah Moen yang sudah dipersiapkan dalam dua versi, Indonesia dan Inggris dalam bentuk paket paket tur ke Kedung Ombo. Maklum internet saat itu belum dikenal.
Atraksinya? Menyaksikan pagelaran tari dan seni ukir topeng dari keluarga besar mbah Moen disamping menikmati suasana dan keramahan warga desa Kedung Ombo disaat pasang purnama.
Kenangan inilah yang merekatkan kembali mak Yam dan saya hari ini, dimana kami tenggelam dalam sentimentil ketika teringat saat saat mbah Moen masih ada ditengah kami. Misalnya, kesibukan kesibukan kami menggodok jagung, pisang dan kacang didapur mbah Moen menjelang pagelaran ketika itu, kemudian kesibukan kesibukan saya meng " oprak oprak " para penabuh dan penari agar bisa muncul di panggung tepat waktu ( maklum seniman umumnya paling susah tepat waktu )
Juga keramaian keramaian anak anak desa terutama yang balita dipinggir pinggir panggung ya ber kali kali harus saya tenangkan karena tamu tamu bule mulai merasa terganggu tidak bisa fokus menikmati atraksi panggung, dan lain lain seolah kembali berputar didepan mata... Begitu cepatnya waktu berlalu.
Mak Yam atau Siti Mariam yang semula berbusana jilbab ketika saya datang tadi, tiba tiba berdiri dan permisi untuk sebentar berganti baju. Saya kaget ketika tidak sampai 3 menit dia sudah keluar memakai celana jean dan TShirt hitam bergambar Soekarno sebagai idola mbah Moen. " Ayo.. saya di foto ya, saya mau nari.....!, katanya serius.
Sebuah topeng berwajah putih dipasangnya dan sebentar kemudian badannya yang masih langsing diusianya yang sudah 59 ( ! ) itu tampak begitu gagah dalam gerakan gerakan yang artistik. Prat..pret..prat..pret.... saya tangkap momen momen itu. Putri mak Yam sempat membisiki saya :
" Itu gerakan gerakan karangan ibu saya sendiri " . Namun buat saya, setiap karya apapun selalu dimulai dari " karangan karangan", jadi sah sah saja..
Tapi tiba tiba saja mak Yam kembali masuk kamarnya dan keluar membawa " krincingan " ( semacam gelang kaki yang bergemerincing ) serta langsung dikenakannya di pergelangan kaki nya yang sebelah kanan. Kembali gerakan gerakan gesit dan sigap dipertontonkannya dan sayapun kembali prat..pret..prat..pret..
Ternyata mak Yam atau Siti Mariam ini memang sedang mood untuk menari, entah apa yang
" merasukinya " ketika tiba tiba dia meminta dipasangkan topeng bapang buatan mbah Moen. Topeng belum sempat dipasang diwajahnya ketika tiba tiba saja mak Yam sudah kembali asyik dengan gerakan gerakan topeng bapang yang seolah menyatu dengan tubuh dan sukmanya.
Saya tidak sia siakan, kembali saya prat..pret..prat ..pret... Tetapi kali ini saya harus dikejutkan oleh hasilnya yang tertampak di monitor kamera saya. Seisi rumah juga ikut kaget. Mak Yam tampak berambut serba putih dan wajah jauh lebih tua, bahkan disalah satu fotonya ada semacam bayangan wajah..
Saya mendadak nervus. Mak Yam mencoba menenangkan diri saya : " Memang bapang itu kan rasa nya mbah Moen, apalagi ini masih tiga harinya... " Lho, saya jadi makin nervus dengan kata kata mak Yam ini..
Dalam perjalanan pulang saya singgah di makam mbah Moen yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Disebuah lembah yang dialiri sungai disebelahnya serta sangat teduh karena penuh dengan pohon pohon tua dan besar seperti di kebun raya. Benar benar sebuah peristirahatan yang damai.
Tampak dua karangan bunga masih ada disana. Beberapa kerabat mbah Moen mengajak saya berkeliling area makam sambil menunjukkan lokasi yang nantinya akan dipakai sebagai tempat pentas topeng yang baru. Dengan kontur tanahnya yang ber lembah lembah, rasanya lokasi ini kedepannya akan bisa menjadi sebuah arena pentas topeng malangan yang fenomenal. Saya bayangkan sinar purnama penuh akan jatuh melewati bayang bayang pepohonan raksasa yang ada disitu, auranya pasti magis...
Saya tinggalkan komplek makam dengan sebuah janji dalam hati. Tapi saya tidak ingin mengurainya disini. " Selamat beristirahat mbah Moen, semoga pewaris pewaris semangat mbah Moen dalam berkarya untuk negeri ini akan dapat melestarikan dan mengembangkan cita cita mbah Moen dalam memajukan seni topeng malangan di kancah nasional dan internasional " .
Juga kepada mak Yam, wanita setia yang penuh dedikasi terhadap suami dan cita cita suaminya mbah Moen ini, semoga diberikan kekuatan dan ketabahan. Ada sebersit rasa bersalah dalam hati saya, bahwa apa yang sudah pernah saya mulai dulu dengan keluarga besar mbah Karimun ini ternyata tidak saya lanjutkan, semoga masih ada waktu lain untuk menebusnya. Amien. ( TH )
Keterangan foto urut dari atas kebawah : ( all taken by me )
01. Salah satu pohon tua raksasa yang ada di area makam mbah Moen yang
sayangnya harus dibabat karena konon sudah mati akibat seringnya di
pakai perburuan tokek.
02. Makam mbah Moen yang masih basah tanahnya dibawah pohon tua
yang rindang dan dibawahnya mengalir sungai kecil .
03. Jalan setapak menuju makam mbah Moen.
04. Mak Yam sedang memasang krincingan dikakinya.
05. Mak Yam sedang " melayang ".
06. Mak Yam dengan rambut panjangnya yang masih legam tanpa cat.
07. Mak Yam menunjukkan foto2 mbah Moen.
08. Mak Yam dengan salah satu topeng favoritnya.
09. Buku tentang mbah Moen.
10. Mak Yam dengan salah satu topeng karya mbah Moen.
11. Para pengrajin topeng Kedung Monggo yang juga merangkap penari.
12. Seorang pengrajin topeng didampingi seorang remaja penari topeng.
13. Piagam Piagam untuk mbah Moen, dari pemerintah RI dan MURI.
( Photos by : Titiek Hariati )