Kamis, 22 April 2010

Harga Diri Bangsa dipertaruhkan di Batam.





Kerusuhan masal yang terjadi di Batam gara gara ucapan SARA seorang supervisor asing ( konon India ) , bukannya tanpa sebab yang beralasan. " All Indonesian are stupid " itu sudah melewati batas yang boleh diucapkan dihadapan peserta pelatihan yang semuanya orang Indonesia. Mungkin kalau para expat itu " nggrundel " sendiri dengan sesama expat ya tidak akan memicu masalah sebab tidak terdengar oleh karyawan Indonesia.


Maka ketika sudah terlanjur diucapkan dan terdengar sangat menyinggung harga diri bangsa, bangkitlah spirit Merah Putih yang terinjak injak. Sulit dibendung, sebab Indonesia memang bisa saja terwakili bahkan oleh seorang pemulung atau buruh pabrik yang merasa harkat martabat Indonesia nya teraniaya.


Ini adalah masalah etika. Dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung. Expat juga termasuk pekerja yang mencari sesuap nasi dinegeri orang yang meskipun bergaji dan berkedudukan tinggi. Maka seyogyanya mereka ikut menghormati negara dan bangsa ini selama nasi mereka cari di bumi ini, bumi Indonesia. Kepandaian dan keahlian yang mereka miliki adalah sesuatu yang harusnya bermanfaat bagi kita, tetapi tidak untuk di sombongkan dan untuk merendahkan anak buah/ didik bangsa kita.


Perbedaan masalah masalah disiplin, etos kerja, kecepatan menyerap ketrampilan serta budaya kerja, mungkin saja masih banyak menjadi potensi konflik antara kita dengan para tenaga asing, tetapi dengan kesadaran akan perlunya sebuah team-work yang saling melengkapi maka kendala kendala diatas seharusnya tidak perlu sampai memicu konflik terbuka.


Pengalaman pribadi saya yang beberapa kali bekerja dengan bos orang asing ( Jerman, Singapore dan Taiwan ), saya sering mencoba " memerankan diri " sebagai jembatan antara " gerundelan " bos dengan karyawan. Jembatan ini tidak selalu mudah sebab harus mampu " ngemong " kedua belah pihak agar tidak saling menyalahkan.


Contoh kecil :

( bos berkebangsaan Jerman sering mengomel atas keterlambatan janji janji dari klien klien lokal kita yang mundar-mundur 2-3 hari dari yang sudah disepakati ). Saya lalu menemukan solusinya. Kepada klien lokal saya selalu memajukan tanggal yang diminta bos, misal tanggal 10 saya minta barang yang dipesan bisa selesai tanggal 6. Dugaan tidak meleset. Mereka mundar-mundur sampai akhirnya bisa selesai tanggal 9, sambil saya menitip pesan sponsor agar untuk kali lain bisa lebih tepat waktu, hitung hitung untuk proses edukasi juga. Dan ketika akhirnya tgl 9 barang sudah ok, itu berarti masih sehari lebih awal dari yang diminta bos. Maka semuanyapun akhirnya happy.


Tetapi omelan yang berbau SARA memang jadi lain, sebab kalau bos asing " menggebyah uyah " bahwa SEMUA orang Indonesia itu malas, goblok dsb tentu saja saya juga tidak terima . Untunglah " gerundelan " masih sebatas pada pihak pihak yang memang nyata nyata merugikan efisiensi perusahaan. Jadi sayalah sebetulnya yang paling sering menyimpan kejengkelan2 akibat bertumpuknya gerundelan2 bhs. Jerman yang tak bisa saya terjemahkan semuanya pada rekan2 di kantor untuk menghindari protes atau demo pada boss hehe ...

Kalaupun ternyata ada faktor faktor lain selain isu SARA sebagaimana ditulis dibeberapa media hari ini, yakni adanya isu kesenjangan sosial antara para expat dengan karyawan lokal plus terlalu bermainnya para perusahaan outsourcing dalam mengekploitasi karyawan lokal, maka hendaknya isu isu ini dapat terselesaikan secepatnya mengingat kepentingan asap dapur dari ribuan karyawan yang terkait. Outsourcing telah menjadi salah satu isu hangat bahkan pada pemilu yang terakhir, maka pemerintah seyogyanya segera turun tangan agar hal ini tidak meluas menjadi bencana nasional.


Apapun musibah yang terjadi di Batam, suka tidak suka, marilah kita mengambil hikmahnya. Kritikan yang ingin disampaikan haruslah mampu dikemas sedemikian rupa agar tidak berbau SARA dan mengundang ketersinggungan . Jangankan umpatan orang asing, kalaupun umpatan datang dari sesama orang Indonesia, bos Indonesia, inipun masih harus berbalut etika. Tidak mentang mentang pimpinan atau manajer atau bos, kita dapat seenaknya mengumpat bawahan.


Sering saya mendapat curhat dari rekan rekan saya yang kebetulan " apes " mendapat bos " unik " karena attitude nya disaat marah seolah tidak mencerminkan pendidikannya yang bagus ( S2 dari luar negeri, juga ada yang dokter, pengacara dan bahkan profesor dll yang hebat hebat ). " Wah mbak, kalau sudah marah mirip kebun binatang... semua koleksinya keluar... babi, wedus, asu .. maaf dll .... " .... Saya senyum senyum, sebab saya pun jadi ingat beberapa mantan bos saya yang serupa...


Demikian catatan untuk hari ini, saya sedih dengan apa yang terlanjur terjadi di Batam, tetapi inti permasalahan yaitu Etika Berkomunikasi pada akhirnya memang dapat memicu konflik ketika itu terabaikan.... ( saya jadi ingat ceramah saya tentang Etika Berkomunikasi ini beberapa minggu yang lalu dihadapan para ibu ibu PKK ketika kasus saling maki para anggota dewan yang terhormat ditonton langsung dilayar kaca , dan sekarang contoh lain muncul di Batam. Memprihatinkan. )


( Foto diambil dari Kompas.com, tanggal 23 April 2010 )




Tidak ada komentar: