Jumat, 03 Juli 2009

"ROMBENGAN" ala SURAMADU







Judul diatas mohon dibaca dengan betul. Rombeng itu "e" nya harus dibaca dengan cetak miring kekiri diatasnya, seperti ketika orang berucap kata "oleng" ( perahu oleng, miring ). Kalau sudah betul membacanya pasti artinya bisa pas, yaitu kalau diterjemahkan adalah "loakan" atau bursa barang bekas. Nah..menarik bukan bahwa Suramadu yang baru saja diresmikan Juni yang lalu ternyata sudah jadi "loakan"? Wah, masa iya?

Saya berkesempatan mengabadikan jembatan ini ketika tengahnya masih belum 100% tersambung, tetapi jembatan sudah selesai sekitar 90%. Jungkir balik mulai dari atas sampai bawah jembatan, bergeser ke samping kanan kiri seperti supervisor bangunan saja, padahal yang ditenteng cuma kamera. 


Seorang petugas membisikkan informasi menarik :" Wah..kalau pekerja2 dari Tiongkok itu hebat kerjanya.", padahal saya tidak bertanya apa apa. Dilanjutkannya :" Mereka 24 jam bekerjanya dan rajin..". Lho apa pekerja pekerja  Indonesianya tidak rajin? Sang petugas dan temen temannya mesam mesem penuh arti ketika saya ajukan pertanyaan itu ...

Kembali ke masalah loakan tadi, ternyata hanya berselang beberapa hari dan minggu dari saat peresmiannya, jembatan kebanggaan kita ini sudah dikilo disana sini. Baut dan mur murnya rupanya "menggiurkan" untuk di loakkan dan ternyata sudah mulai di protoli tangan tangan yang tidak bertanggung jawab.

Ternyata itu belum seberapa. Belakangan bahkan ada berita yang lebih menyedihkan. Polisi berhasil menangkap sindikat pencurian pipa pipa jembatan yang berdiameter cukup besar serta total bobot pipa yang dicuri adalah : 3/tiga ton...................!!!!! 

Sudah tentu ini bukan maling maling kelas kambing sebab mengumpulkan barang curian seberat itu pasti tidak mudah dan sederhana karena perlu alat serta kendaraan khusus untuk mengangkutnya. Luar biasa kreatifnya bangsa ini!

Pertanyaannya : sampai kapan bangsa Indonesia ini baru akan mampu menjadi bangsa pemelihara aset aset negaranya? Yang jelas saat ini memang : BELUM. Rel KA di potong, kabel telkom dicuri, telpon umum diputus kabelnya bahkan pesawat telponnya dicuri, menara PLN digergaji, peninggalan atau cagar cagar budaya dicorat coret, sungai sungai dibuat TPA, pohon pohon ditepi jalan dipaku untuk pasang iklan terutama dimusim pilkada, dan daftarnya masih panjang lagi.

Seorang teman berkisah bahwa ortunya mengeluh : " Jaman Belanda dulu, wah..semua bersihhhhhhhhhhhh sekali, dan tidak ada yang corat coret atau mencuri curi fasilitas umum seperti sekarang!". Tiba tiba saya dapat inspirasi, mungkin bangsa kita ini "lebih manut" kepada pihak asing daripada ditata oleh bangsanya sendiri? Lha ini juga mengandung bahaya, sebab diera global ini siapa saja bisa menjadi apa saja. 


Artinya, kalau kita kurang pandai mengawal aset aset kita dan satu saat tiba tiba saja orang orang asing duduk sebagai boss boss kita, baik itu di perusahaan perusahaan maupun lembaga lembaga lainnya, tidak mustahil kita akan menjadi "jongos" ( pembantu ) di negeri sendiri. Ini bukan khayalan. Sebab kalau dijaman Belanda saja konon mereka sudah sangat pinter memelihara aset aset kita, apalagi dijaman teknologi canggih ini.

Gorong gorong yang dibuat pemerintah Hindia Belanda itu misalnya, setidaknya yang ada di kota Malang, bertujuan antara lain untuk menjaga keseimbangan air di daratan dan bawah tanah, mencegah banjir dll. Lha kok justru setelah merdeka dari penjajahan Belanda, gorong gorong ini dibuntu dan bahkan diatasnya banyak yang sudah didirikan bangunan bangunan yang akhirnya mengundang luapan air alias banjir rutin.Oalaaaa ... kok " pinterrrr "  ya kita ini ....


Mungkin para wisatawan Belanda yang mengadakan kunjungan wisata nostalgia ke Malang khususnya akan ter bengong bengong dengan " keahlian " bangsa kita melestarikan bekas Paris van Java ini. 


Semrawut, ruwet, mampet, belum lagi spanduk spanduk, baliho, iklan dan kabel kabel mulai listrik, telepon dll yang " pating slewer dan tumpang tindih ". " Ooooo lha jaman dulu orangnya sedikit, mobil jarang, lha sekarang kan lain..." itu alasan yang bisa dicari. Sebenarnya iya. Tetapi tidak berarti tidak bisa ditertibkan.

Maka supaya Suramadu dan fasilitas2 umum lainnya tidak dipreteli, dicoreti, dimalingi, di..di..di...banyak lagi, saya rindu kita bisa meniru the Fine City : SINGAPORE. Kota denda. saking getolnya denda mendenda, sampai (maaf!) kentut didalam lift pun diatur dendanya! Meludah ditempat umum, memberi makan burung ditempat umum, membuang sampah tidak pada tempatnya, mencegat taxi sembarangan dll dll semuanya mengandung denda! 


Mungkin diawalnya orang Singapura mengomel, ada aturan kok kebangeten. Tetapi setelah berjalan beberapa waktu dan sampai kini siapapun yang ke negeri singa ini akan merasakan betapa jauh bedanya Singapura dan negeri kita dalam hal kebersihan dan kedisiplinan. Padahal jarak kita dengan mereka hanya terpisah beberapa menit dari Batam.

Wah..Singapura penduduknya sedikit, gampang mengaturnya, begitu mungkin alasannya. Mungkin. Tetapi kalau selalu ada "excuses" maka rasanya bangsa kita tidak akan sampai sampai ditujuan. Denda perlu, tetapi bukan denda basa basi yang tertera dipapan dan pelaksanaannya nihil. 


Mencuri mur atau baut bahkan lonjoran pipa2 berat di Suramadu akan lebih berat dendanya daripada mur dan baut yang ada di telepon umum misalnya, karena menyangkut keselamatan orang banyak. Yang lebih penting lagi adalah DENDA KURUNGAN bagi petugas pendenda yang ketahuan ber KKN dengan yang didenda.

Sudah berapa ton kah hasil penjualan mur dan baut dan pipa pipa lonjoran Suramadu? Mungkin kita memang perlu menghitung yang masih tersisa untuk bisa memprediksi berapa lama kira kira jembatan ini mampu bertahan disamping keluhan keluhan lainnya seperti aspal yang mulai ber lubang lubang atau paku paku yang entah darimana asalnya banyak tercecer untuk mengundang ban ban kendaraan yang bakal bernasib malang.


Suramadu o..Suramadu ku yang malang karena maling !

( Foto diambil dari : artemaster.5056.wordpress.com )

1 komentar:

ratualit mengatakan...

iya saya setuju, memang mental orang Indonesia sekarang ini sudah semakin parah harus benar-benar diperbaiki dari mulai pejabat sampai masyarakat umumnya... :-)