dimasa pandemi yang seolah tanpa akhir ini ,
beberapa daerah seolah " kebingungan " menentukan
kebijakan . jika diberikan pembatasan skala besar
yang berdarah darah ekonominya ,
dan kalau dilonggarkan alias transisi menuju yang
lebih " bebas " maka yang berdarah darah
adalah Rumah Rumah sakit berikut nakesnya
yang kewalahan bahkan hingga
meninggal dunia secara mengerikan .
bagaimana tidak ngeri kalau nakes yang notabene
adalah Tulang Punggung Para Pasien Covid19 itu
justru banyak yang meninggal ?
akan dikemanakan para pasien covid19 ini karena
isolasi rumah nampaknya juga tidak mampu
membendung penyebaran virus ?
sejak awal penyebaran saya masih ingat saat itu
Pebruari 2020 , sudah banyak para nakes yang
melalui TV maupun sosmed menghimbau
agar masyarakat MEMBANTU mereka
dengan cara membatasi diri alias " anteng "
dirumah yang kalau tidak terpaksa sekali
tidak perlu keluar rumah .
juga rajin cuci tangan , ber masker , berjaga jarak dll
dll agar penyebaran bisa dibatasi .
saat ini September 2020 , sekitar 105 lebih dokter
meninggal belum lagi terhitung para
tenaga tenaga lainnya di RS yang tidak kalah jasanya
bahkan mulai Cleaning Service , Security ,
Tenaga Admin , Perawat , dll dll yang menunjang
operasional RS .
sembilan bulan sudah sejak datangnya covid19
dibumi Indonesia , hasilnya adalah Zona Merah
yang dimana mana makin merah !
dimana kesalahannya dan siapa yang bersalah ?
saya tak hendak menyalahkan siapa siapa kalau
ternyata saya sendiri kadang " kurang patuh protokol "
dengan misalnya masih sesekali
ke supermarket dengan alasan cari ini itu yang
tidak ada di tukang sayur atau mlijo ,
juga sesekali masih ke tempat2 terbuka meskipun
sepi dan mencari waktu2 yang " tidak bermanusia "
dengan alasan mencari bahan untuk blog ini ,
atau juga sesekali masih menemui kerabat yang
sepuh2 meski hanya beberapa menit bertemu
dipagar dengan alasan hanya untuk
menyampaikan buah tangan dll
plus sesekali masih berurusan secara fisik
dengan beberapa tetangga untuk berbagai
keperluan administrasi seperti mengantarkan
iuran sampah , uang arisan pkk dll meski
hanya beberapa menit diluar pagar saja .
lha bagaimana lagi selama saya masih manusia
rasanya tidak mungkin juga mengisolasi diri
secara total meskipun semua keperluan saat ini
bisa diselesaikan secara online ,
tetap saja saya sesekali ingin menghirup udara
luar rumah tetapi dengan cara teraman
dan patuh protokol 100% !
naa .. bukankah dengan itu saya menjadi salah satu
penyumbang pelanggar PSBB yang
tidak taat untuk 100% " anteng " dirumah ?
TETAPI sungguh ,
kemanapun saya keluar rumah meski cuma mengantar
iuran sampah ke bendahara RT yang
berjarak kurang dari 100 meter , saya patuhi protokol
secara ketat yaitu :
baju lengan panjang , celana panjang
( maaf sejak pandemi saya sudah tinggalkan
baju2 muslim/ gamis dan memilih celana panjang untuk pertimbangan praktis dan aman ) , hijab ,
masker , faceshield , sarung tangan , membawa
handsanitizer dalam tas , dan ( maaf lagi .. ) gerobag
tidak pernah saya buka kaca2nya dan
berjalan kaki se bisa2 saya hindari .
waduh .. kalau ada yang protes :
" jalan kaki kan sehat sama dengan olahraga " ,
itu 100% betul ! tetapi sejak pandemi ,
saya lebih berhati2 dengan udara terbuka di kota ,
kecuali di area2 yg memang terbuka dan bersih
seperti gunung , laut dll yang sepi .
mandi ? rasanya saya sudah seperti ikan karena
mandi kadang bisa 3-4 kali sehari meski
hanya didalam rumah . bagaimana mungkin ?
pada jam2 sholat saya berwudhu sekaligus saya mandi .
terserah saja mau dibilang apa sebab sebagai
yang sudah masuk golongan 16
( pssst ... jangan dibalik ! ) ,
sudah tentu bentengnya covid ada ditangan sendiri
saya sering " uring2an " saat di supermarket
atau di jalan2 melihat mereka
yang No Reken pada protokol terutama generasi
milenialnya yang seolah merasa
" aku kan masih muda , mana perlu takut virus ? "
kadang karena mereka2 yang abai ini berada
dijarak dekat dengan saya di supermarket dll ,
saya sulit menahan diri untuk tidak menegur
mengapa tidak bermasker .
jawaban mereka macam macam yang saya yakin mereka
ada pada usia sekolah bahkan lebih banyak
usia kuliah al sbb :
01 ) ketinggalan dirumah ,
02 ) itu dimotor ,
03 ) lupa , tadi ter buru2 ,
04 ) masih dicuci ,
05 ) hilang ,
06 ) belum beli lagi .
07 ) ( diam , tidak memberikan jawaban apa apa .. )
yang sedang naik motor , yang sedang jalan kaki ,
yang sedang ngopi , yang sedang
guyon guyon di depan rumah , yang sedang
menyetir mobil , yang sedang makan di warung warung
atau yang sedang berada di tempat tempat wisata
maupun sekolah 2 atau kampus2 atau
dimanapun yang sering saya lihat tidak bermasker
bahkan juga generasi " before milenial " alias
generasi2 angkatan saya ternyata juga
masih banyak yang " ndableg " abai protokol!
sanksi2 ringan seperti push up , menyapu ,
masuk peti mati , masuk ambulans , denda duit dll
agaknya masih kurang mempan ..
saya coba share di dua grup untuk minta masukan
atau ide hukuman apa yang lebih " menakutkan " .
saya mendapat beberapa masukan menarik ,
ini misalnya :
01 . pelanggar protokol ditugaskan membantu
cleaning service di RS yang menjadi rujukan
pasien covid19 meski dengan ber APD
tetapi diharapkan memberi efek jera melihat pasien2 covid
yg sedang dirawat dengan ventilator dll itu .
02 . membantu petugas pemakaman korban covid19
meski dengan ber APD lengkap supaya
memberi peringatan bahwa merekapun bisa
menjadi salah satu dari yang dimakamkan disitu .
03 . ditahan sehari untuk merasakan
tahanan polisi sehari semalam sambil membayangkan
bahwa " isolasi " di RS itu akan sangat tidak
nyaman jika sampai terpapar .
04 . denda duit yang tidak 1/2 hati alias sungguh2
dilaksanakan tanpa pandang bulu sebab selama
masih " kasihan " maka selama itu pula aturan
tidak dapat ditegakkan apalagi sering
ditemukan mereka yang terkena denda duit umumnya
milenial dan dengan alasan
" belum berpenghasilan " mereka bisa lolos
tetapi untuk duduk ngopi , beli rokok , beli pulsa ,
beli barang2 toko online dll mampu .
maka ada sebuah PR besar bagi kita semua ,
siapa yang harus lebih " disalahkan " ,
si pelanggar atau si penegak aturan protokol pandemi ?
aturan yang ber ubah2 juga hendaknya jangan
bersifat seketika2 , tetapi merupakan sebuah
kesepakatan dari semua pihak !
bahkan pendapat mereka yang " bakal dikenai aturan "
juga perlu didengar , misal dalam soal
penetapan Ganjil Genap di DKI Jakarta ,
harusnya juga melibatkan kalangan masyarakat
awam pengguna transpotasi umum
maupun kendaraan pribadi melalui
komunitas2 tertentu mereka sehingga tidak lalu
muncul aturan tetapi kemudian dihapus kembali
karena ada keberatan2 dari berbagai pihak
yang tidak dilibatkan sebelumnya ..
benarkah sangat berat untuk patuh protokol?
semuanya adalah pilihan ,
bahkan pilihan untuk
hidup dengan sehat atau
hidup dengan sisa paru paru yang sudah
tergerus virus atau ..
dimakamkan dipemakaman khusus korban covid19 ..
( Titiek Hariati , Malang , 11.09.20 )
gambar2 diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar