Terus terang ide dari catatan ini muncul secara tidak sengaja yakni ketika semalam saya mencari foto2 lama dari seorang teman, tiba tiba ada amplop terjatuh dari sebuah map. Seperti mendapat durian montong, ketika saya lihat ternyata berisi foto2 tahun 1997 ( ! ) semasa masih berkarir disebuah perusahaan telekomunikasi. Jaman itu belum ada internet sehingga foto2 semuanya masih berbentuk hardfile dan bersyukurlah saya bahwa ternyata masih bagus kwalitas gambarnya dan saat ini foto2 tersebut sudah teramankan dalam bentuk softfile.
Saya berusaha mengingat nama nama teman yang ada di foto. Ada dua orang yang saya sudah lupa, sungguh saya sudah berusaha keras tetapi ingatan tergerus waktu. Rombongan kami waktu itu berjumlah sekitar 15 orang dengan tujuan Maluku termasuk Ambon, dilanjutkan ke Papua, yan secara khusus juga mengunjungi Timika. Perusahaan ditempat kami bekerja merupakan salah satu operator seluler terkemuka saat itu, dan perjalanan ini antara lain untuk membuka area jangkauan baru di Indonesia Timur khususnya Maluku.
Sebuah kerja yang tidak ringan, apalagi secara geografis Papua tidaklah seperti Jawa. Ber gunung2 dan ber lembah2 serta cuaca yang sangat mudah berubah dalam hitungan detik.
Di Timika, rombongan kami menginap di Sheraton, satu2nya hotel bintang lima saat itu, berlokasi ditengah belantara lebat bumi Cendrawasih. Tidak ada tempat rekreasi lain, sehingga hotel merupakan satu2nya" taman bermain " setelah seharian bekerja.
Diluar hotel kami langsung berhadapan dengan lebatnya belantara, sehingga untuk acara santai jogging pagi hari atau jalan santai malam hari mungkin bukan pilihan yang baik, setidaknya pada waktu itu. Seperti gurauan diantara kami saat itu begini " Kalian jalan jalan malam hari atau subuh diluar hotel nanti ngga bisa balik ke Jawa lho ... " ....
Di Timika, rombongan kami menginap di Sheraton, satu2nya hotel bintang lima saat itu, berlokasi ditengah belantara lebat bumi Cendrawasih. Tidak ada tempat rekreasi lain, sehingga hotel merupakan satu2nya" taman bermain " setelah seharian bekerja.
Diluar hotel kami langsung berhadapan dengan lebatnya belantara, sehingga untuk acara santai jogging pagi hari atau jalan santai malam hari mungkin bukan pilihan yang baik, setidaknya pada waktu itu. Seperti gurauan diantara kami saat itu begini " Kalian jalan jalan malam hari atau subuh diluar hotel nanti ngga bisa balik ke Jawa lho ... " ....
Kunjungan utama selain kepada tokoh2 masyarakat disana, adalah juga ke Freeport, tambang yang merupakan salah satu denyut nadi perekonomian masyarakat lokal.
Terletak di sebuah kawasan indah dan alami, tambang ini seolah sebuah " kepala botak " ditenga rimbunnya belantara Papua. Kami harus melalui serentetan prosedur untuk keselamatan dan keamanan pengunjung yang sudah tentu jauh2 hari telah disepakati oleh kedua belah pihak . Diterima oleh Kahumas beserta beberapa top officernya yang hampir semuanya bule, kami diajak naik hingga Essberg dengan memakai kereta gantung.
Kacamata, helm, sepatu boat dan jaket adalah prosedur standar yang harus dikenakan oleh setiap pengunjung. Dan akhirnya kami dapat melihat hampir seluruh area tambang dari ketinggian yang ada. Tiba tiba saja tidak ada lagi keceriaan yang semula menyertai rombongan. Suasana berganti pilu dan prihatin.
Bagaimana tidak? Bukit2 yang semula cantik dan hijau, berubah menjadi gersang dan botak serta hampir rata. Seluruh hasil tambang yang bertahun tahun digali dari sini, melalui pipa pipa besar yang dibuat sedemikian rupa untuk kemudian tersalur langsung ke kapal2 menuju....benua Columbus!! Yang menikmati, sudah pasti bukan bangsa Indonesia. Yang mendapat keuntungan, sudah jelas bukan rakyat kita, kecuali mungkin beberapa gelintirpejabat kita .
Sedih dan miris. Saya kesana tahun 1997, dan itu sudah 12/dua belas tahun yang lalu ! Maka bila saat ini saya berkesempatan kembali ke bumi Papua dan Freeport, saya tidak akan tega melihatnya karena sudah pasti kerusakan lingkungannya sudah jauh lebih luas dan parah.
Salah siapa ketika bangsa kita tidak mampu mengawal kekayaan sumber daya alamnya?
Salah siapa ketika bangsa kita hanya menjadi penonton dari kepiawaian bangsa asing menyedot kekayaan alam kita?
Salah siapa yang memberikan ijin pihak luar beroperasi puluhan tahun dibumi pertiwi ini tanpa menguntungkan Indonesia?
Salah siapa yang mengobral kekayaan kita ini sedemikian murah tanpa martabat?
Semoga diantara rekan2 saya yang serombongan saat itu ada yang sempat membaca ini. Saya tidak tahu apakah kita masih diberikan kesempatan melihat lagi bumi Papua yang dari hari kehari semakin terkuras? Apa yang bisa kita katakan pada anak cucu kelak bila ternyata planet Cendrawasih yang indah ini akhirnya hanya menyisakan gurun tandus yang gersang?
Mungkin Anda memiliki jawabannya...... ? ( th )
Keterangan foto dari atas kebawah :
01. Memakai seragam pengaman dari Freeport termasuk sepatu, helm,kacamata, jaket dll.
02. Saya didepan patung asmat, hotel tempat menginap. Sheraton, Timika.
03. Esberg, gunung yang sudah gundul terperas kekayaannya oleh Amerika.
04. Bandingkan ukuran tubuh saya dengan ban dari truk Freeport ini he he...
01. Memakai seragam pengaman dari Freeport termasuk sepatu, helm,kacamata, jaket dll.
02. Saya didepan patung asmat, hotel tempat menginap. Sheraton, Timika.
03. Esberg, gunung yang sudah gundul terperas kekayaannya oleh Amerika.
04. Bandingkan ukuran tubuh saya dengan ban dari truk Freeport ini he he...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar